Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni 2, 2009

Status kewarganegaraan anak yang lahir di Indonesia dan dari perkawinan campuran

Pasal  41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia : ” Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum undang-undang iini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan undang-undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah undang-undang ini diundangkan.”   Bahwa terhadap anak-anak yang berada di luar cakupan Pasal 41 tersebut yaitu anak-anak hasil perkawinan campuran dan anak-anak yang lahir di negara Ius Soli (berdasar tempat kelahiran), yang tidak mendaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda atau anak-anak yang sudah mendaftar tetapi tidak atau terlambat memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia hingga batas waktu yang ditentukan Undang-Undang b

MASA IDDAH BAGI SUAMI

PEMBERLAKUAN SYIBHUL IDDAH BAGI SUAMI Wacana Antisipatif Terhadap Penyelundupan Hukum Oleh : Drs. H. Abd. Halim Ibrahim, MH Ketua Pengadilan Agama Pandan A. Pendahuluan Putusnya perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan adalah dengan sebab kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Putusnya perkawinan dengan sebab kematian adalah pada saat ikatan perkawinan masih ada, salah satu dari suami isteri meningal dunia. Apabila suami yang meninggal dunia maka isteri wajib menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari.  Sedangkan putusnya perkawinan dengan sebab perceraian adalah disebabkan suami mentalak isterinya di depan pengadilan atau isteri menuntut cerai akibat suami melanggar taklik talaknya. Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan, sedangkan menurut istilah Mazhab Hanafi dan Hambali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan di masa akan datang. Sedangkan Mazhab Syafi’i mendefinisi