Langsung ke konten utama

Status kewarganegaraan anak yang lahir di Indonesia dan dari perkawinan campuran

Pasal  41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia : ” Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum undang-undang iini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan undang-undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah undang-undang ini diundangkan.”   Bahwa terhadap anak-anak yang berada di luar cakupan Pasal 41 tersebut yaitu anak-anak hasil perkawinan campuran dan anak-anak yang lahir di negara Ius Soli (berdasar tempat kelahiran), yang tidak mendaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda atau anak-anak yang sudah mendaftar tetapi tidak atau terlambat memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia hingga batas waktu yang ditentukan Undang-Undang b

Pencemaran Nama Baik. Perlu dihapuskan atau tidak

Pencemaran Nama Baik (310 Jo. 311 KUHP) Perlu dihapuskan atau tidak ? - Belakangan ini banyak sekali kalangan politisi, akademisi, Press, praktisi hukum bahkan aktivis HAM mempermasalahkan keberlakuan Pasal 310 dan 311 KUHP. Keberadaan pasal ini disinyalir menghambat demokrasi dan dianggap tidak dapat dipertahankan lagi dalam sistem hukum kenegaraan sehingga harus dihapuskan. Disamping itu pasal ini cenderung digunakan oleh
pihak penguasa untuk memberangus dan membungkam lawan. Pandangan tersebut nampaknya ada benarnya, karena fakta menunjukan setiap kritikan, masukan dan upaya pembongkaran korupsi serta mafia hukum nampaknya pasal tersebut kerapkali digunakan untuk membungkam. Dan hasilnya sudah pasti justru si pengkritik yang harus berhadapan dengan persoalan hukum karena dianggap menista dan melakukan pencemaran nama baik. Hal ini bisa kita lihat dari kasus Susno Duadji, Ferdi Semaun , ICW dan lain-lain yang ketika melakukan kritik dan upaya pembongkaran korupsi dan mafia hukum (terlepas ada bukti atau tidak). Namun menurut penulis wacana penghapusan pasal tersebut terkesan reaksioner dan pragmatis, mengingat tidak pernah didukung dengan alasan-alasan yuridis.

Jika kita berfikir secara sosiologis dan yuridis mengenai keberlakuan pasal tersebut, kita dapat menilai apakah benar pengguganaan pasal tersebut hanya digunakan untuk membungkam aktivis, atau setidaknya apakah hanya mereka yang berkuasa yang bisa menggunakan pasal tersebut. Maka tentu saja dapat kita sepakati bahwa setiap warga Negara yang nama baiknya dicemarkan oleh seseorang dapat menggunakan pasal ini untuk melindungi harkat, martabat, nama baik dan kedudukannya sebagai warganegara yang dilindungi oleh konstitusi. Hal tersebut tampaknya perlu kita tegaskan, mengingat subjek hukum dalam setiap peraturan perundang-undangan tidak memandang strata dan kedudukan, dalam arti setiap warga Negara memiliki kedudukan yang sama didepan hukum, serta memiliki hak yang sama dalam setiap proses hukum untuk mencari keadilan.

Bahwa setidaknya untuk dapat dikatakan sebuah peraturan hukum yang berlaku dikatakan efektif atau tidak didalam sebuah masyarakat bisa kita nilai dengan pisau analisa yang biasa di pakai oleh para begawan hukum pada umumnya, yakni dengan memperhatikan aspek filosofis sosiologis dan yuridis. Ketiga hal ini pada umumnya sering digunakan oleh para yuris untuk menilai apakah sebuah peraturan perundang-undangan masih layak digunakan atau tidak dalam sebuah masyarakat, meskipun banyak anggapan bahwa KUHP kita merupakan warisan kolonial yang harus kita tinggalkan.

Jika kita kita hubungkan hal tersebut di atas dengan keberadaan Pasal 310 dan 311 KUHP yang nota bene merupakan warisan dan peninggalan kolonial sehingga harus ditinggalkan, adalah alasan yang tidak berdasar mengingat justru konstitusi kitalah yang membenarkan agar peraturan tersebut tetap ada. Adapun manfaat dari pasal tersebut diberlakukan berdasarkan ketentuan aturan peralihan untuk menghindari kekosongan hukum berkaitan dengan pencemaran nama baik. Bisa kah kita bayangkan jika ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku. Tentu saja masyarakat yang nama baiknya tercemar akan kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan keadilan atas sebuah perbuatan yang menurut nalar dan akan sehat perbuatan fitnah dan pencemaran nama baik tersebut jelas merugikan.

Pada prinsipnya setiap warga Negara memiliki hak dan kehormatan yang melakat pada dirinya, salah satunya adalah nama baik. Jika kita bertanya kepada diri kita sendiri atau setidaknya kepada masyarakat, apakah mereka mau nama baiknya dicemarkan atau dituduh melakukan sesuatu padahal perbuatan tersebut tidak dilakukannya. Lalu kita kembali bertanya apakah dibenarkan jika dia mengambil upaya hukum agar si pelaku diberikan ganjaran/ hukuman karena telah merusak dan melukai kehormatan/nama baiknya. Tentu saja jawabannya adalah upaya hukum tersebut dibenarkan.

Contoh :
Si A merupakan seorang akademis di bidang hukum tata negara, pada suatu hari dia dimintakan oleh seorang pemohon untuk menjadi ahli dalam perkara uji materiil undang-undang anti rokok, dalam pejelasannya si A menerangkan bahwa UU anti rokok tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan seterusnya. Setelah beberapa hari munculah di media dan rumor yang keluarkan oleh si B bahwa si A telah menerima uang miliaran rupiah dalam memberikan keterangan ahlinya, dan selanjutnya si hakim pun tidak lepas dari fitnah tersebut dimana si hakim dituduh telah menerima sebuah rumah dan sejumlah uang agar memenangkan perkara tersebut.
Lalu apakah menurut nurani dan akal sehat si A dan si hakim dibenarkan melakukan upaya hukum untuk melindungi kehormatannya karena telah dicemarkan nama baiknya oleh si B ?
Hal ini tentu saja dibenarkan, mengingat dimasyarakat sendiri apabila terjadi rumor merekapun akan melakukan upaya untuk mengembailkan agar keadaan menjadi normal seperti sedia kala.

Berkaitan dengan padangan beberapa orang yang menganggap bahwa keberadaan pasal 310 jo. 311 KUHP dianggap tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan demokrasi karena pasal tersebut biasa dipakai oleh penguasa untuk melawan akktifis adalah alasan yang berlebihan dan tidak berdasar. Mengingat hingga saat ini belum ada penelitian yang ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan bahwa dalam perjalanan sejarah penegakan hukum di Republik Indonesia khususnya berkenaan dengan penggunaan pasal 310 Jo. 311 KUHP hanya digunakan oleh penguasa. Sehingga secara sosiologis alasan tersebut sama sekali tidak relefan, dan sangat subjektif.

Bahwa keberlakuan filosofis pada sebuah peraturan perundang-undangan adalah berkaitan dengan cita-cita dan tujuan hukum tersebut diciptakan, apakah dia diciptakan untuk membuat keadaan lebih baik dan sehingga bermafaat bagi masyarakat atau tidak.

Jika kita menelaah dari keberlakukan sosiologis, nampaknya secara filosofis dapat kita pahami bahwa maksud dari keberlakukan pasal tersebut bukanlah untuk menghalangi aktifis, atau hanya digunakan oleh penguasa untuk menghadapi kritik. Namun lebih dari itu setiap warga Negara yang memiliki nama baik dapat mjenggunakan pasal tersebut, karena tujuan dari pasal tersebut adalah untuk melindungi nama baik dan kehormatan seseorang di dalam masyarakat. Sehingga adalah tepat jika seseorang membuat sebuah opini dan berita tentang seseorang yang tidak sesuai dengan kebenarannya harus dihukum karena telah merugikan nama baik dan kehormatan orang tersebut. Perlu pula ditegaskan bahwa keberlakukan pasal ini untuk seluruh warga Negara, tidak hanya untiuk Presiden, menteri, penegak hukum, politisi atau pejabat negara, namun seluruh warga negara, tanpa memandang status sosial, baik guru, tukang becak, tukan buah atau buruh dapat menggunakan pasal ini jika kehormatannya dianiaya.

Jika kita menilai pasal 310 Jo. 311 KUHP dalam perspektif yuridis dalam arti apakah dia bertentangan dengan Konstitusi sehingga harus dibatalkan, maka tentu saja hal tersebut tidak benar. Karena keberlakukuannya dijamin oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam ketentuan perlaihan dimana peraturan-peraturan tersebut diberlakukan untuk menghindari kekosongan hukum. Disamping itu keberlakuan pasal ini mengikat seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya di khususkan bagi pemegang kekuasaan. Siapapun warga Negara yang merasa nama baiknya dicemarkan oleh orang lain, maka dapat mengambil upaya hukum dengan mengunakan pasal ini.

Perlu kita pahami bahwa dalam hukum pidana setidaknya kita harus memegang teguh asas-asas dari hukum pidana, dimana pemidanaan yang dijatuhkan oleh seorang hakim bukanlah sebuah putusan yang serta merta menghubungkan unsur-unsur dalam sebuah peraturan lalu dihubungkan dengan fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan. Namun lebih dari itu dalam menjatuhkan sanksi seorang hakim pidana (tanpa terkecuali) memegang teguh asas-asas dalam hukum pidana, diantaranya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa, kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah, dan asas keadilan.

Jika seseorang melakukan kritikan namun hal tersebut ditujukan bukan dengan maksud untuk mencemarkan nama baik maka tentu saja hakim akan membebaskan orang tersebut, karena tidak ada unsur kesengajaan dan kesalahan dalam peristiwa tersebut.

Namun penulis mengakui belakangan sangat banyak hakim-hakim kita yang menjatuhkan vonis pidana tanpa memperhatikan asas-asas hukum pidana, demikian halnya dengan pola kerja dan tingkahlaku Polisi dan jaksa yang terkadang memaksa dan merekayasa unsur-unsur pidana dalam sebuah pasal demi meraup segepok uang. Namun menurut penulis hal tersebut tidaklah berkaitan dengan demokratis atau tidaknya sebuah pasal, hal tersebut berkaitan mental dan budaya dari aparat penegak hukum. Karena sesungguhnya hukum itu adalah benda mati yang tidak bernyawa, yang diberlakukan sangat tergantung dari siapa yang akan menggunakannya.

By : Supriyadi Sebayang (Konsultasihukumonline)

Postingan populer dari blog ini

CERAI RAPAK

Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam bentuk Cerai Talak yang itu berada di tangan suami atau Gugat Cerai (khulu’) sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami Cerai rapak  adalah istilah yang sering digunakan oleh masyarakat muslim di indonesia bila  cerai  dilakukan  oleh pihak istri  kepada suami. Cerai Rapak, model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi. Sebab istri mengajukan jalan rapak atau mengajukan gugatan Suami tidak mau mengurus untuk mengajukan gugatan cerai talak secara sah ke pengadilan Suami tidak diketahui keberadaanya Konsultasi

ALAMAT PENGACARA SEMARANG

Kantor Pengacara WDY & Partners Jl. Bledak Kantil II No.45, Tlogosari Kulon, Kec. Pedurungan, Kota Semarang, Jawa Tengah 50196 Tel / WA +6285225446928

Alamat Pengadilan Negeri Semarang

Pengadilan Negeri Semarang Alamat: Jl. Siliwangi No.512, Kembangarum, Kec. Semarang Bar., Kota Semarang, Jawa Tengah 50146