Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label perkawinan

Status kewarganegaraan anak yang lahir di Indonesia dan dari perkawinan campuran

Pasal  41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia : ” Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum undang-undang iini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan undang-undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah undang-undang ini diundangkan.”   Bahwa terhadap anak-anak yang berada di luar cakupan Pasal 41 tersebut yaitu anak-anak hasil perkawinan campuran dan anak-anak yang lahir di negara Ius Soli (berdasar tempat kelahiran), yang tidak mendaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda atau anak-anak yang sudah mendaftar tetapi tidak atau terlambat memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia hingga batas waktu yang ditentukan Undang-Undang b

Putusnya Perkawaninan Atas Permohonan Talak Suami

Gambar: Pexels Problematika dalam Cerai Talak  Dalam hal cerai talak untuk putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, sebagaimana Undang-Undang No 07 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama Pasal 70 ayat 5 yang menjelaskan mengenai cerai talak menyatakan bahwa putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap harus dilaksanakan walaupun pihak istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.  Jadi seorang suami tidak perlu khawatir jika dalam pengucapan Ikrar Talak tersebut jika sang Istri tidak hadir dalam persidangan, karena sidang Ikrar Talak tersebut akan tetap di laksanakan sebagaimana-mestinya.   Sebagaimana pasal 70 ayat 6 menyatakan bahwa apabila pihak suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah m

Batas Minimal Usia Menikah

UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal I Beberapa ketentuan dalam  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) diubah sebagai berikut: Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana d

Status Pernikahan Di Gereja Yang Tidak Didaftarkan

1.    Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan hukum masing-masing agamanya adalah sah. Berarti perkawinan hanya dilakukan dengan tata cara perkawinan agama. Namun, Pasal 2 ayat (2) UUP menegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 3 jo. Pasal 1 angka 17 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) bahwa perkawinan adalah salah satu Peristiwa Penting yang wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana (dalam hal ini menurut Pasal 2 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah kantor pencatatan sipil) dengan memenuhi syarat yang diperlukan. Ada sanksi yang dapat dikenakan terkait dengan pencatatan perkawinan ini. Sesuai Pasal 90 ayat (1) huruf b jo. Pasal 34 ayat (1) jo. Pasal 37 ayat (4) UU Adminduk, setiap penduduk dapat di

Perkawinan Campuran di LN Wajib Dicatatkan

Pelaporan perkawinan adalah bersifat administratif. Namun jika tidak dicatatkan, perkawinan dianggap tidak pernah ada. Bagi warga negara Indonesia, khususnya perempuan, yang berniat melakukan perkawinan campuran beda kewarganegaraan, banyak hal yang harus dipahami. Ketidaktahuan Warga Negara Indonesia (WNI) khususnya perempuan terhadap aturan perkawinan campuran berpotensi menimbulkan persoalan. Baik dalam masalah harta dan anak, maupun status perkawinan. Salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh WNI yang menikah dengan WNA di luar negeri adalah melakukan pencatatan pernikahan di kantor catatan sipil. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua WNI atau seorang WNI dengan WNA adalah sah bilamana dilaksanakan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan (asas lex loci celebrationis). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri berlaku hukum negara ter

Perkawinan / Perceraian PNS

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur ketentuan tentang perkawinan yang berlaku bagi segenap warga negara dan penduduk Indonesia, tentu termasuk didalamnya adalah warga negara yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, juga dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga. Dalam Undang-Undang Perkawinan telah ditentukan bahwa: "Perkawinan sah ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah  tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang  dilakukan  menurut  hukum masing-masing agamanya/kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan dicatat  menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Tentunya perkawinan yang kekal menjadi dambaan semua keluarga, namun tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian dalam pe

POLIGAMI

Perlu ketahui bahwa suami untuk dapat menikah lagi atau mempunyai lebih dari satu istri, berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), suami wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan): adanya persetujuan dari istri/istri-istri; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Perlu diketahui bahwa persetujuan dari istri ini tidak diperlukan jika si is

KAWIN PAKSA

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan, dikatakan bahwa perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia.

NIKAH MUHALLIL

Nikah Cina Buta , dalam Hukum Islam dikenal dengan sebutan Nikah Muhalill . Arti dari Muhalil sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:  (1) orang yang nikah dengan perempuan yg telah tiga kali ditalak suaminya, sesudah itu diceraikannya supaya perempuan itu dapat kawin lagi dng bekas suaminya yg terdahulu;  (2) cina buta. KH. Husein Muhammad dalam artikelnya yang berjudul Nikah Cina Buta yang dimuat dalam laman fahmina.or.id. KH. Husein Muhammad menjelaskan bahwa nikah cina buta adalah istilah yang populer dalam sejumlah daerah di Indonesia, antara lain Aceh. Dalam hukum Islam, Kawin Cina Buta disebut Nikah Muhallil. Muhallil secara literal berarti "orang yang menghalalkan". Nikah Muhallil adalah pernikahan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dan perempuan janda cerai/talak tiga sebagai cara atau mekanisme untuk menghalalkan kembali hubungan seks antara perempuan tersebut dengan bekas suaminya.

PEMBATALAN PERKAWINAN

1. APAKAH PEMBATALAN PERKAWINAN 1TU? Pembatalan perkawinan yaitu menganggap suatu perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada. Pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan.

KETENTUAN USIA UNTUK PERKAWINAN

1. Usia Kawin Berdasarkan Hukum Adat Dalam hukum adat ketentuan mengenai batas usia perkawinan tidak dinyatakan secara tegas karena mengingat hukum adat  adalah hukum asli bangsa Indonesia yang tidak tertulis yang disana-sini mengandung unsur keagamaan sehingga mengenai batas usia untuk melangsungkan perkawinan juga tidak tertulis. Setiap daerah mempunyai hukum adatnya masing-masing karena Negara Indonesia terdiri dari banyak suku, adat dan kebudayaan yang beraneka ragam. Daerah yang memegang teguh adatnya maka secara otomatis mereka dalam melangsungkan perkawinan, batas usia perkawinan ditentukan dengan hukum adat yang berlaku bagi mereka (Roesbandisofyan, 2005 : Kuliah Hukum Adat). Contohnya masyarakat Jawa dengan hukun adat jawanya, kaum pria dinyatakan pantas untuk kawin jika mereka sudah “Kuat Gawe” artinya mereka yang telah mampu berpenghasilan sendiri (sudah Bekerja)

Perjanjian Kawin

Perjanjian kawin, atau Prenuptual Agreement adalah suatu Perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau isteri secara otentik di hadapan Notaris, yang menyatakan bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka masing-masing dalam perkawinan mereka kelak (pasal 139 juncto pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dengan dibuat dan ditanda-tanganinya Perjanjian ini, maka semua harta mereka, baik itu berupa harta yang mereka bawa sebelum mereka menikah, maupun pendapatan yang mereka peroleh setelah mereka menikah kelak adalah hak dan milik mereka masing-masing. Demikian pula dengan hutang-hutang dari masing-masing pihak tersebut. Perjanjian kawin atau perjanjian pra nikah menjadi sangat penting terutama untuk para warga negara Indonesia yang ingin melangsungkan pernikahan dengan warga negara asing. Hal ini disebabkan, dengan dibuatnya Perjanjian kawin tersebut, maka suami/istri yang ber kewarganegaraan Indonesia dapat tetap memiliki tanah di

TATA CARA PENCATATAN PERKAWINAN

Tata cara atau proses pelaksanaan pencatan perkawinan meliputi Pemberitahuan kehendak nikah, pemerikasaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan penandatanganan akta nikah serta pembuatan kutipan akta nikah (Departemen Agama RI,2004 : 6). 1. Pemberitahuan Kehendak Nikah   1.1. Persiapan Pembantu PPN dalam memberikan penasihatan dan bimbingan agar mendorong kepada masyarakat dalam merencanakan perkawinan hendaknya melakukan persiapan pendahuluan   1.2. Pemberitahuan Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang yang hendak kawin memberitahukan kehendaknya kepada pembantu PPN yang mewilayahi tempat dilangsungkanya akad nikah, sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan. Pemberitahuan kehendak kawin dapat dilakukan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan.

Alamat KUA Seluruh Indonesia

Alamat Kantor Urusan Agama Seluruh Indonesia ·          Nanggroe Aceh Darussalam ·          Sumatera Utara ·          Sumatera Barat ·          Riau ·          Jambi ·          Sumatera Selatan ·          Kep. Bangka Belitung ·          Bengkulu ·          Lampung ·          DKI   Jakarta ·          Jawa Barat ·          Banten ·          Jawa Tengah ·          DI. Yogyakarta ·          Jawa Timur ·          Kalimantan Barat ·          Kalimantan Tengah ·          Kalimantan Timur ·          Kalimantan Selatan ·          Sulawesi Selatan ·          Sulawesi Tengah ·          Sulawesi Tenggara ·          Sulawesi Utara ·          Gorontalo ·          Bali ·          Nusa Tenggara Barat ·          Nusa Tenggara Timur ·          Maluku ·          Maluku Utara ·          Irian Jaya Suber Kementrian Agama RI Data  Kamis, 13 Desember 2007

Syarat Melakukan Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Suatu perkawinan baru dapat dikatakan perkawinan sah apabila memenuhi syarat-syarat perkawinan dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.

Poligami

Beristri lebih dari satu orang secara bersamaan atau Poligami , oleh hukum Islam pada prinsipnya diperbolehkan, namun hal itu memerlukan syarat-syarat tertentu. Syarat pertama, poligami terbatas hanya sampai empat istri, dan terhadap istri-istrinya itu suami harus mampu berlaku adil – termasuk kepada anak-anaknya. Apabila suami tidak dapat memenuhi syarat-syarat tersebut, maka suami dilarang berpoligami.

Peraturan tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS

Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) diatur dalam Peraturan Pemerintah sbb : Open Link PP No. 10 tahun 1983 izin perkawinan dan perceraian PNS PP No. 45 tahun 1990 perubahan atas PP no. 10 th 1983 SEBKN_No. 48 tahun 1990 (cerai2) DOWNLOAD FILE PDF PP NO. 10 TAHUN 1983 IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PNS PP NO. 45 TAHUN 1990 PERUBAHAN ATAS PP NO 10 TH 1983 SEBKN_No. 48_tahun 90 (CERAI2)

MASA IDDAH BAGI SUAMI

PEMBERLAKUAN SYIBHUL IDDAH BAGI SUAMI Wacana Antisipatif Terhadap Penyelundupan Hukum Oleh : Drs. H. Abd. Halim Ibrahim, MH Ketua Pengadilan Agama Pandan A. Pendahuluan Putusnya perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan adalah dengan sebab kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Putusnya perkawinan dengan sebab kematian adalah pada saat ikatan perkawinan masih ada, salah satu dari suami isteri meningal dunia. Apabila suami yang meninggal dunia maka isteri wajib menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari.  Sedangkan putusnya perkawinan dengan sebab perceraian adalah disebabkan suami mentalak isterinya di depan pengadilan atau isteri menuntut cerai akibat suami melanggar taklik talaknya. Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan, sedangkan menurut istilah Mazhab Hanafi dan Hambali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan di masa akan datang. Sedangkan Mazhab Syafi’i mendefinisi