Langsung ke konten utama

Postingan

Status kewarganegaraan anak yang lahir di Indonesia dan dari perkawinan campuran

Pasal  41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia : ” Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum undang-undang iini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan undang-undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah undang-undang ini diundangkan.”   Bahwa terhadap anak-anak yang berada di luar cakupan Pasal 41 tersebut yaitu anak-anak hasil perkawinan campuran dan anak-anak yang lahir di negara Ius Soli (berdasar tempat kelahiran), yang tidak mendaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda atau anak-anak yang sudah mendaftar tetapi tidak atau terlambat memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia hingga batas waktu yang ditentukan Undang-Undang b

PENGESAHAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI

Syarat - syarat mengajukan permohonan pengesahan pengangkatan anak di pengadilan negeri Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak jo. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 02 / 1979 Tentang Pengangkatan anak jo. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2009 Tentang Kewajiban Melengkapi Permohonan Pengangkatan Anak Dengan Akta Kelahiran. PENGANGKATAN ANAK ANTAR WNI : I. Syarat-syarat umum : 1. Permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat domisili anak angkat ( orang tua kandung / wali )atau tempat domisili Lembaga Pengasuhan dari mana anak tersebut diangkat. 2. Isi Surat Permohonan : Pada bagian posita dari permohonan tersebut secara jelas diuraikan dasar yang mendorong (motif) diajukannya permohonan pengesahan/pengangkatan anak tersebut; Juga harus tampak bahwa permohonan pengesahan / pengangkatan anak itu dilakukan terutama untuk kepentingan calon anak a

Bisakah Urus Cerai di KUA ?

Secara umum, pengaturan masalah perceraian di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”). Pada dasarnya, perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Hal ini telah disebut dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan . Jadi, merujuk pada pasal tersebut, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Yang dimaksud dengan pengadilan menurut Pasal 1 huruf b PP 9/1975 adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya. Perceraian pasangan suami istri yang beragama Islam tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Jelas kiranya perempuan beragama Islam yang ingin cerai hanya sah jika mengajukan gugatan perceraiannya pada Pengadilan Agama.

IZIN CERAI PEGAWAI BUMN TIDAK BERLAKU

Ketentuan yang menyangkut izin perceraian kepada atasannya hanya berlaku bagi pegawai negeri sipil (PNS), bukan pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).  Pertimbangannya, mengutip Pasal 95 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN yang menyebutkan pengangkatan, pemberhentian, hak dan kewajiban bagi pegawai BUMN ditetapkan berdasarkan PKB dan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Selain itu, bagi BUMN tak berlaku ketentuan kepegawaian yang diterapkan untuk PNS. PP No. 45 Tahun 2005 Pasal 95 menyebutkan dengan jelas : (1) Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. (2) BUMN tidak berlaku segala ketentuan kepegawaian eselonisasi jabatan yang berlaku bagi Pegawai Negeri. Dengan demikian perihal surat izin atasan

Putus Hubungan Perdata dengan Orang Tua

Seseorang yang telah berusia 20 tahun tidak lagi dapat dikategorikan sebagai seorang anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu, seseorang yang telah berusia 20 tahun dikategorikan sudah dewasa, dalam arti cakap hukum dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mengenai kedudukan anak dan hubungan anak dengan orang tuanya, diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pada dasarnya, anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Bila ia telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Dari sini dapat kita ketahui bahwa anak tetap punya kedudukan dan kewajiban sekalipun ia telah dewasa. Ini mengindikasikan bahwa anak tidak boleh memutuskan hubungan kepe

TALAK 123

Dalam Islam, salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan lagi bagi suami istri meneruskan hidup berumah tangga disebut thalaq/talak.  Arti talak itu sendiri menurut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Mengenai talak diatur lebih lanjut dalam Pasal 129, Pasal 130, dan Pasal 131 KHI. Pasal 129 KHI berbunyi: “Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.” Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama. Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum

LEGALITAS AKTE CERAI JIKA SUAMI TIDAK PERNAH HADIR SIDANG

Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang diubah kembali oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 , suami atau istri secara prinsip haruslah menghadiri sendiri sidang perceraian guna memungkinkan diusahakannya perdamaian secara maksimal di antara suami dan istri tersebut. Bahkan, dalam hal adanya penunjukan kuasa sekalipun, Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri guna kepentingan pemeriksaan.[1]. Namun demikian, bila dalam suatu sidang cerai, salah satu pihak (biasanya pihak tergugat), tidak menghadiri sidang pemeriksaan yang dilakukan. Apabila hakim berpendapat bahwa tergugat tersebut telah dipanggil secara sah dan patut namun tetap tidak hadir di persidangan, maka Hakim berwenang untuk tetap meneruskan pemeriksaan sidang cerai yang dilaksanakan serta mengambil keputusan. Putusan cerai yang diambil tanpa kehadiran tergugat tersebut dal

Status Pernikahan Di Gereja Yang Tidak Didaftarkan

1.    Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan hukum masing-masing agamanya adalah sah. Berarti perkawinan hanya dilakukan dengan tata cara perkawinan agama. Namun, Pasal 2 ayat (2) UUP menegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 3 jo. Pasal 1 angka 17 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) bahwa perkawinan adalah salah satu Peristiwa Penting yang wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana (dalam hal ini menurut Pasal 2 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah kantor pencatatan sipil) dengan memenuhi syarat yang diperlukan. Ada sanksi yang dapat dikenakan terkait dengan pencatatan perkawinan ini. Sesuai Pasal 90 ayat (1) huruf b jo. Pasal 34 ayat (1) jo. Pasal 37 ayat (4) UU Adminduk, setiap penduduk dapat di