PRANATA HUKUM (Sebuah Telaah Sosiologis)
Prof. Dr. Esmi Warassih, SH, MS.
Begitu
besarnya pengaruh ilmu hukum dalam kehidupan masyarakat perlu diperhatikan
bagaimana hukum itu secara efektif dan efisien digunakan untuk mengatur.
Artinya selain hukum sebagai aturan-aturan formal (sebagai produk) harus
diperhatikan juga komponen-komponen sosial yang mengitari proses dalam
pembuatan hukum itu.
Demikian
pula Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto berpendapat bahwa tujuan hukum
adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern
antar pribadi dan ketenangan intern pribadi. Serupa dengan pendapat yang
disampaikan Van Apeldoorn bahwa pada asarnya hukum bertujuan untuk mengatur
pergaulan hidup manusia secara damai. Sedangkan Soebekti berpendapat bahwa
hukum itu mengabdi kepada tujuan negara untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan bagi rakyatnya.
Hukum
dalam menjalankan fungsinya tidak bisa dilepaskan dari sistem, yaitu sistem
norma. Untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif hukum harus
dilihat sebagai sub sistem dari sistem yang besar yaitu masyarakat atau
lingkunganya. Pengertian sistem sebagaimana didefinisikan oleh beberapa ahli
antara lain bertalanffy, kenneth building, mengundang implikasi yang sangat
berarti terhadap hukum terutama dalam hal : keintegrasian; keteraturan;
keutuhan; keterorganisasian; keterhubungan komponen satu dengan yang lain;
ketergantungan komponen satu sama lain; Shrode dan Voich menambahkan pula bahwa
selain syarat sebagaimana diatas, sistem juga harus berorientasi kepada tujuan.
(Sinopsis)
Hukum dalam perkembangan masyarakat harus
mengikuti lajunya /pesatnya kemajuan dan kompleksitas permasalahan-permasalahan
yang timbul. Hukum harus dipahami sebagai tertib logis dari tatanan peraturan
yang berlaku. Artinya hukum haruslah tidak sekedar menjadi lembaga yang otonom,
melainkan sebagai
proses sosial. Sehingga diharapkan antara ilmu hukum dan ilmu sosial mempunyai hubungan yang saling melengkapi dan saling mempengaruhi.
proses sosial. Sehingga diharapkan antara ilmu hukum dan ilmu sosial mempunyai hubungan yang saling melengkapi dan saling mempengaruhi.
Aliran-aliran
yang muncul sebagai bentuk pemahaman / cara berpikir untuk memahami hukum
dimulai dari yang disebut sebagai “aliran analitis” yaitu yang memandang hukum
sebagai penetapan kaitan-kaitan logis antara kaidah-kaidah dan antara
bagian-bagian yang ada dalam tertib hukum, dimana setiap istilah hukum yang
dipakai selalu didefinisikan secara tegas. Aliran analitis selalu meletakkan
setiap persoalan hukum dalam legalitas formal terutama mengenai penafsiran
serta penerapan pasal-pasal undang-undang.
Aliran
ini berpendirian bahwa sejak suatu peraturan hukum ditetapkan maka ia merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum positif, yaitu sebagai bagian dari
sistem tersebut secara logis, rasional, konsisten, dan sistematis. Itu artinya
hukum sebagai ilmu pengetahuan hukum positif selalu menerapkan di dalam
batas-batas perundang-undangan dan sebagai lembaga yang otonom di tengah-tengah
masyarakat.
Namun
harus disadari bahwa pengaturan oleh hukum bukan saja dilihat dari segi
legitimasinya dan bukan semata-mata sebagai ekspresi nilai-nilai keadilan, tapi
hukum harus dilihat sebagai lembaga yang bekerja untuk dan di dalam masyarakat.
Dari sinilah lahir aliran pemikiran non analitis, dimana hukum bukan hanya
bagaimana mengatur sesuai prosedur hukum tetapi bagaimana mengatur sehingga
dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum. Sehingga
masalah efisiensi suatu peraturan hukum menjadi sangat penting oleh karena
menyangkut pula kaitan-kaitan lain dalam berpikirnya, yaitu meninjau hubungan
hukum dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial di luarnya.
Campur
tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat
menyebabkan pengaitannya oleh hukum tidak pernah terlepas dari kehidupan
manusia. Sehingga pemanfaatan studi ilmu-ilmu sosial di dalam studi hukum
sangat diperlukan.
Bahwa pada hakekatnya ilmu hukum
bersifat normatif evaluatif sedangkan ilmu pengetahan sosial bersifat deskriptif
yang berusaha memaparkan apa adanya dan tidak mengemukakan apa yang seharusnya
tentang suatu realitas sosial. Sehingga dengan demikian diperlukan “teori hukum
sosial” yang memperluas wawasan dengan melibatkan kekuatan-kekuatan kultur
sosial dan ekonomi serta sebab-sebab sosial yang lain. Ilmu-ilmu sosial selain
sebagai pintu masuk kepada pemahaman teori hukum sosial tersebut juga untuk
menjelaskan hubungan hukum terutama antara tingkah laku manusia dengan
ketentuan-ketentuan yang bekerja di dalam masyarakat.
Formalisme
hukum dalam memahami dan menjelaskan masalah hukum mengalami pergeseran
pandangan dari para penstudi hukum seiring dengan perkembangan kehidupan
masyarakat yang semakin rumit. Pergeseran kerangka pemahaman terhadap
persoalan-persoalan hukum tersebut sebetulnya juga dipicu oleh kecenerungan
dari pemerintah (negara) untuk menggunakan hukum secara sadar sebagai salah
satu pedoman penyusunan tata kehidupan sosial yang merumuskan paling jelas
antara hukum dan perubahan sosial yang baru. Hukum lalu dimanfaatkan sebagai
saluran untuk merumuskan kebijakan (policy) dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat termasuk bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Bahwa
untuk memanfaatkan hasil pemikiran ilmu-ilmu sosial dalam memberi umpan balik
bagi pengembangan-pengembangan teori hukum dalam rangka memberi landasan
pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam masyarakat
haruslah dipahami terlebih dahulu akan kpmpleksitas hukum itu sendiri. Menurut
Northop sebagaimana dikutip oleh Bodenheimer, bahwa hukum memang tidak bisa
dimengerti secara baik jika ia terpisah dari norma-norma sosial sebagai “hukum
yang hidup”. Adapun hukum yang hidup oleh Eugen Erlich dimaknakan sebagai hukum
yang menguasai hidup itu sendiri, sekalipun ia tidak dicantumkan dalam
peraaturan-peraturan hukum.
Penggunaan
pengetahuan ilmu-ilmu sosial akan menghasilakan suatu kesadaran bahwa hukum
ditempatkan bukan hanya sekedar seperangkat norma-norma tetapi adalah hasil
dari proses sosial yang terus berubah. Robert B. Seidman menyatakan bahwa
tindakan hukum apapun yang akan diambil baik oleh pemegang peran,
lembaga-lembaga pelaksana, maupun pembuat undang-undang selalu berada dalam
lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik dan
lain sebagainya.
Selain
dalam proses pembuatan undang-undang sebagaimana diungkapkan Robert B. Seidman,
kekuatan–kekuatan sosial juga dirasakan dalam bidang penerapan hukum. Tiga
nilai dasar yang harus yang harus diwujudkan menurut Gustav Radbruch adalah
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sedangkan peranan apa yang
diharapkan dari warga masyarakat (baik itu polisi, jaksa, hakim, maupun
masyarakat) sangat ditentukan dan dibatasi oleh kekuatan-kekuatan sosial
tersebut terutama sistem budaya. Faktor-faktor yang turut menentukan bagaimana
respon yang akan diberikan oleh pemegang peran antara lain : sanksi-sanksi yang
terdapat di dalamnya; aktifitas dari pelaksana hukum; dan seluruh
kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lain yang bekerja atas diri pemegang
peran ini.
Walaupun
ada perbedaan tujuan antara hukum dan ilmu-ilmu sosial, namun dalam
pertumbuhannya ternyata bersifat saling melengkapi.
CITA HUKUM
Hukum
dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku yang
sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah
ada, lebih jauh hukum telah mengarah kepada penggunaannya sebagai sarana untuk
melakukan perubahan dalam masyarakat.
Hukum
dalam pengertiannya memiliki definisi yang baragam, tetapi secara garis
besarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 pengertian dasar : pertama hukum
dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi
adalah bersifat filosofis; kedua hukum dilihat sebagai suatu sistem
peraturan-peraturan yang abstrak, dengan pusat perhatian pada hukum sebagai
lembaga yang benar-benar otonom. Konsekuensi metodologinya adalah bersifat
normatif-analitis; ketiga hukum dilihat sebagai sarana atau alat untuk mengatur
masyarakat. Metodologinya adalah sosiologis.
Ada beberapa teori tujuan hukum
- teori
etis : mengajukan tesis bahwa hukum itu semata-mata bertujuan untuk
menemukan keadilan. Keprihatinan mendasar dari teori ini terfokus pada dua
pertanyaan tentang keadilan : 1. menyangkut hakikat keadilan; 2. menyangkut
isi atau norma untuk berbuat secara kongkrit dalam keadaan tertentu. Aristoteles
membedakan keadilan dalam 2 macam keadilan yaitu justitia distributive dan
justicia commutative.
- teori
utilitas : penganut teori ini adalah Jeremy Bentham berpendapat bahwa
tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagian terbesar bagi manusia dalam
jumlah yang sebanyak-banyaknya.
- teori
campuran : tujuan pokok hukum adalah ketertiban, dan oleh karena itu
ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur.
Hoebel menyimpulkan empat fungsi hukum yaitu :
1. menetapkan hubungan-hubungan antara para
anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku
apa yang dipierkenankan dan apa pula yang dilarang;
2. menentukan pembagian kekuasaan dan merinci
siapa saja yang boleh melakukan serta siapakah yang harus menaatinya dan
sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif;
3. menyelesaikan sengketa;
4. memelihara kemampuan masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah-ubah, yaitu
dengan cara merumuskan kebali hubungan esensial antara anggota-anggota
masyarakat;
Disamping
itu hukum menghendaki agar masyarakat bertingkah laku sesuai dengan harapan
masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial. Demikian pula hukum berfungsi
sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan
memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan
beroperasi secara merata di hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat.
Penyelenggaraan
keadilan dalam masyarakat berkaitan erat dengan tingkat kemampuan
masyarakatnya. Dalam masyarakat sederhana dikenal istilah Primary rules of obligation yaitu tatanan hukum yang terjadi pada
masyarakat dengan jumlah populasi kecil dimana hubungan antar anggotanya
terjalin erat berdasarkan azaz kekerabatan dengan sentimen dan kepercayaan yang
sama serta mempunyai lingkungan yang
relatif stabil sehingga peraturan-peraturan tidak resmi yang dipandang sebagai
standar tingkah laku masyarakat dianggap sudah memadai. Adapun kelemahan
tatanan hukum ini adalah ketidakpastian hukum. Sedangkan dalam masyarakat yang
semakin kompleks dibutuhkan tatanan hukum yang memiliki kewajiban sekunder (secondari rules of obligation) antara
lain:
- Peraturan
pengakuan norma tertentu
- Peraturan
yang menggarap perubahan–perubahan
- Peraturan
penyelesaian sengketa
Hukum
dipandang sebagai suatu sistem harus digunakan pendekatan sistem, dimana
menurut Lawrence M.Friedman hukum terdiri dari komponen struktur yaitu
kelembagaan yang diciptakan oleh hukum; substansi yaitu output dari sistem
hukum; dan kultur yaitu nilai-nilai, sikap-sikap, persepsi yang mempengaruhi
bekerjanya hukum.
Selain itu Lon L.
Fuller berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai sistem harus dicernati
apakah memenuhi yang disebutnya sebagai 8 asas atau prinsiples of llegality.
Menurut Hans Kelsen bahwa hukum sebagai sistem norma bergantung pada /dibuat
berdasarkan norma yang lebih tinggi an akhirnya bergantung pada satu norma
tertinggi yang tidak tergantung pada norma lagi melainkan ditetapkan lebih dulu
keberadaanya oleh masyarakat yang disebut grundnorm, dimana peraturan disusun
dalam satu kesatuan hierarkis.