Langsung ke konten utama

Status kewarganegaraan anak yang lahir di Indonesia dan dari perkawinan campuran

Pasal  41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia : ” Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum undang-undang iini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan undang-undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah undang-undang ini diundangkan.”   Bahwa terhadap anak-anak yang berada di luar cakupan Pasal 41 tersebut yaitu anak-anak hasil perkawinan campuran dan anak-anak yang lahir di negara Ius Soli (berdasar tempat kelahiran), yang tidak mendaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda atau anak-anak yang sudah mendaftar tetapi tidak atau terlambat memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia hingga batas waktu yang ditentukan Undang-Undang b

PRANATA HUKUM (Sebuah Telaah Sosiologis)

Prof. Dr. Esmi Warassih, SH, MS.
(Sinopsis)

       Hukum dalam perkembangan masyarakat harus mengikuti lajunya /pesatnya kemajuan dan kompleksitas permasalahan-permasalahan yang timbul. Hukum harus dipahami sebagai tertib logis dari tatanan peraturan yang berlaku. Artinya hukum haruslah tidak sekedar menjadi lembaga yang otonom, melainkan sebagai
proses sosial. Sehingga diharapkan antara ilmu hukum dan ilmu sosial mempunyai hubungan yang saling melengkapi dan saling mempengaruhi.
            Aliran-aliran yang muncul sebagai bentuk pemahaman / cara berpikir untuk memahami hukum dimulai dari yang disebut sebagai “aliran analitis” yaitu yang memandang hukum sebagai penetapan kaitan-kaitan logis antara kaidah-kaidah dan antara bagian-bagian yang ada dalam tertib hukum, dimana setiap istilah hukum yang dipakai selalu didefinisikan secara tegas. Aliran analitis selalu meletakkan setiap persoalan hukum dalam legalitas formal terutama mengenai penafsiran serta penerapan pasal-pasal undang-undang.
            Aliran ini berpendirian bahwa sejak suatu peraturan hukum ditetapkan maka ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum positif, yaitu sebagai bagian dari sistem tersebut secara logis, rasional, konsisten, dan sistematis. Itu artinya hukum sebagai ilmu pengetahuan hukum positif selalu menerapkan di dalam batas-batas perundang-undangan dan sebagai lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat.
            Namun harus disadari bahwa pengaturan oleh hukum bukan saja dilihat dari segi legitimasinya dan bukan semata-mata sebagai ekspresi nilai-nilai keadilan, tapi hukum harus dilihat sebagai lembaga yang bekerja untuk dan di dalam masyarakat. Dari sinilah lahir aliran pemikiran non analitis, dimana hukum bukan hanya bagaimana mengatur sesuai prosedur hukum tetapi bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum. Sehingga masalah efisiensi suatu peraturan hukum menjadi sangat penting oleh karena menyangkut pula kaitan-kaitan lain dalam berpikirnya, yaitu meninjau hubungan hukum dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial di luarnya.
            Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan pengaitannya oleh hukum tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Sehingga pemanfaatan studi ilmu-ilmu sosial di dalam studi hukum sangat diperlukan.
             Begitu besarnya pengaruh ilmu hukum dalam kehidupan masyarakat perlu diperhatikan bagaimana hukum itu secara efektif dan efisien digunakan untuk mengatur. Artinya selain hukum sebagai aturan-aturan formal (sebagai produk) harus diperhatikan juga komponen-komponen sosial yang mengitari proses dalam pembuatan hukum itu. 
             Bahwa pada hakekatnya ilmu hukum bersifat normatif evaluatif sedangkan ilmu pengetahan sosial bersifat deskriptif yang berusaha memaparkan apa adanya dan tidak mengemukakan apa yang seharusnya tentang suatu realitas sosial. Sehingga dengan demikian diperlukan “teori hukum sosial” yang memperluas wawasan dengan melibatkan kekuatan-kekuatan kultur sosial dan ekonomi serta sebab-sebab sosial yang lain. Ilmu-ilmu sosial selain sebagai pintu masuk kepada pemahaman teori hukum sosial tersebut juga untuk menjelaskan hubungan hukum terutama antara tingkah laku manusia dengan ketentuan-ketentuan yang bekerja di dalam masyarakat.
            Formalisme hukum dalam memahami dan menjelaskan masalah hukum mengalami pergeseran pandangan dari para penstudi hukum seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin rumit. Pergeseran kerangka pemahaman terhadap persoalan-persoalan hukum tersebut sebetulnya juga dipicu oleh kecenerungan dari pemerintah (negara) untuk menggunakan hukum secara sadar sebagai salah satu pedoman penyusunan tata kehidupan sosial yang merumuskan paling jelas antara hukum dan perubahan sosial yang baru. Hukum lalu dimanfaatkan sebagai saluran untuk merumuskan kebijakan (policy) dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya.  
            Bahwa untuk memanfaatkan hasil pemikiran ilmu-ilmu sosial dalam memberi umpan balik bagi pengembangan-pengembangan teori hukum dalam rangka memberi landasan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam masyarakat haruslah dipahami terlebih dahulu akan kpmpleksitas hukum itu sendiri. Menurut Northop sebagaimana dikutip oleh Bodenheimer, bahwa hukum memang tidak bisa dimengerti secara baik jika ia terpisah dari norma-norma sosial sebagai “hukum yang hidup”. Adapun hukum yang hidup oleh Eugen Erlich dimaknakan sebagai hukum yang menguasai hidup itu sendiri, sekalipun ia tidak dicantumkan dalam peraaturan-peraturan hukum.
            Penggunaan pengetahuan ilmu-ilmu sosial akan menghasilakan suatu kesadaran bahwa hukum ditempatkan bukan hanya sekedar seperangkat norma-norma tetapi adalah hasil dari proses sosial yang terus berubah. Robert B. Seidman menyatakan bahwa tindakan hukum apapun yang akan diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana, maupun pembuat undang-undang selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik dan lain sebagainya.
            Selain dalam proses pembuatan undang-undang sebagaimana diungkapkan Robert B. Seidman, kekuatan–kekuatan sosial juga dirasakan dalam bidang penerapan hukum. Tiga nilai dasar yang harus yang harus diwujudkan menurut Gustav Radbruch adalah keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sedangkan peranan apa yang diharapkan dari warga masyarakat (baik itu polisi, jaksa, hakim, maupun masyarakat) sangat ditentukan dan dibatasi oleh kekuatan-kekuatan sosial tersebut terutama sistem budaya. Faktor-faktor yang turut menentukan bagaimana respon yang akan diberikan oleh pemegang peran antara lain : sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya; aktifitas dari pelaksana hukum; dan seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lain yang bekerja atas diri pemegang peran ini.
            Walaupun ada perbedaan tujuan antara hukum dan ilmu-ilmu sosial, namun dalam pertumbuhannya ternyata bersifat saling melengkapi.

CITA HUKUM
            Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah ada, lebih jauh hukum telah mengarah kepada penggunaannya sebagai sarana untuk melakukan perubahan dalam masyarakat.
            Hukum dalam pengertiannya memiliki definisi yang baragam, tetapi secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 pengertian dasar : pertama hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat filosofis; kedua hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, dengan pusat perhatian pada hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom. Konsekuensi metodologinya adalah bersifat normatif-analitis; ketiga hukum dilihat sebagai sarana atau alat untuk mengatur masyarakat. Metodologinya adalah sosiologis.
Ada beberapa teori tujuan hukum
  1. teori etis : mengajukan tesis bahwa hukum itu semata-mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Keprihatinan mendasar dari teori ini terfokus pada dua pertanyaan tentang keadilan : 1. menyangkut hakikat keadilan; 2. menyangkut isi atau norma untuk berbuat secara kongkrit dalam keadaan tertentu. Aristoteles membedakan keadilan dalam 2 macam keadilan yaitu justitia distributive dan justicia commutative.
  2. teori utilitas : penganut teori ini adalah Jeremy Bentham berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagian terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya.
  3. teori campuran : tujuan pokok hukum adalah ketertiban, dan oleh karena itu ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur.
             Demikian pula Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto berpendapat bahwa tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi. Serupa dengan pendapat yang disampaikan Van Apeldoorn bahwa pada asarnya hukum bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Sedangkan Soebekti berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya.
Hoebel menyimpulkan empat fungsi hukum yaitu :
1.      menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang dipierkenankan dan apa pula yang dilarang;
2.      menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan serta siapakah yang harus menaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif;
3.      menyelesaikan sengketa;
4.      memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah-ubah, yaitu dengan cara merumuskan kebali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat;
            Disamping itu hukum menghendaki agar masyarakat bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial. Demikian pula hukum berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara merata di hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat.
            Penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat berkaitan erat dengan tingkat kemampuan masyarakatnya. Dalam masyarakat sederhana dikenal istilah Primary rules of obligation yaitu tatanan hukum yang terjadi pada masyarakat dengan jumlah populasi kecil dimana hubungan antar anggotanya terjalin erat berdasarkan azaz kekerabatan dengan sentimen dan kepercayaan yang sama serta  mempunyai lingkungan yang relatif stabil sehingga peraturan-peraturan tidak resmi yang dipandang sebagai standar tingkah laku masyarakat dianggap sudah memadai. Adapun kelemahan tatanan hukum ini adalah ketidakpastian hukum. Sedangkan dalam masyarakat yang semakin kompleks dibutuhkan tatanan hukum yang memiliki kewajiban sekunder (secondari rules of obligation) antara lain:
  1. Peraturan pengakuan norma tertentu
  2. Peraturan yang menggarap perubahan–perubahan
  3. Peraturan penyelesaian sengketa
             Hukum dalam menjalankan fungsinya tidak bisa dilepaskan dari sistem, yaitu sistem norma. Untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif hukum harus dilihat sebagai sub sistem dari sistem yang besar yaitu masyarakat atau lingkunganya. Pengertian sistem sebagaimana didefinisikan oleh beberapa ahli antara lain bertalanffy, kenneth building, mengundang implikasi yang sangat berarti terhadap hukum terutama dalam hal : keintegrasian; keteraturan; keutuhan; keterorganisasian; keterhubungan komponen satu dengan yang lain; ketergantungan komponen satu sama lain; Shrode dan Voich menambahkan pula bahwa selain syarat sebagaimana diatas, sistem juga harus berorientasi kepada tujuan.
            Hukum dipandang sebagai suatu sistem harus digunakan pendekatan sistem, dimana menurut Lawrence M.Friedman hukum terdiri dari komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh hukum; substansi yaitu output dari sistem hukum; dan kultur yaitu nilai-nilai, sikap-sikap, persepsi yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
            Selain itu Lon L. Fuller berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai sistem harus dicernati apakah memenuhi yang disebutnya sebagai 8 asas atau prinsiples of llegality. Menurut Hans Kelsen bahwa hukum sebagai sistem norma bergantung pada /dibuat berdasarkan norma yang lebih tinggi an akhirnya bergantung pada satu norma tertinggi yang tidak tergantung pada norma lagi melainkan ditetapkan lebih dulu keberadaanya oleh masyarakat yang disebut grundnorm, dimana peraturan disusun dalam satu kesatuan hierarkis.  

Postingan populer dari blog ini

CERAI RAPAK

Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam bentuk Cerai Talak yang itu berada di tangan suami atau Gugat Cerai (khulu’) sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami Cerai rapak  adalah istilah yang sering digunakan oleh masyarakat muslim di indonesia bila  cerai  dilakukan  oleh pihak istri  kepada suami. Cerai Rapak, model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi. Sebab istri mengajukan jalan rapak atau mengajukan gugatan Suami tidak mau mengurus untuk mengajukan gugatan cerai talak secara sah ke pengadilan Suami tidak diketahui keberadaanya Konsultasi

ALAMAT PENGACARA SEMARANG

Kantor Pengacara WDY & Partners Jl. Bledak Kantil II No.45, Tlogosari Kulon, Kec. Pedurungan, Kota Semarang, Jawa Tengah 50196 Tel / WA +6285225446928

Alamat Pengadilan Negeri Semarang

Pengadilan Negeri Semarang Alamat: Jl. Siliwangi No.512, Kembangarum, Kec. Semarang Bar., Kota Semarang, Jawa Tengah 50146