PERSETUJUAN SUAMI ISTRI TENTANG PENGALIHAN HARTA BERSAMA

Perkawinan yang abadi atau menjalani Perkawinan sehidup semati adalah harapan semua orang, lepas dari latar yang berbeda, baik agama maupun suku, akan tetapi itu adalah IDEALISME yang Sulit untuk diwujudkan.

Sejatinya kita masih mempunyai Kesempatan untuk bisa kembali kepada Pasangan kita, ketkia Cinta itu masih ada (Theres No Bullshit About Love, it’s Trully Real) dan memulai semua dari awal dan jika Perceraian itu dapat dianggap sebagai Intropeksi atau berbenah diri dalam jangka waktu yang panjang.

Bahwa adalah suatu Kenyataan yang Harus dihadapi ketika Tujuan Perkawinan tidak dapat dicapai dan akan menyisakan permasalahan terutama Anak dan Harta Bersama, dalam hal ini yang akan dibahas adalah mengenai Harta Bersama (Enjoy and Read Carefully)


Beberapa ketentuan yang perlu dipahami oleh setiap orang terhadap harta perkawinan adalah sebagai berikut:

Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan” )menyatakan bahwa :

“Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.”

Pengertian yang dapat dariketentuan pasal tersebut adalah sepanjang dalam ikatan perkawinan tidak ada perjanjian mengenai pemisahan harta (perjanjian harta terpisah), suami atau istri tidak dibenarkan secara hukum melakukan perbuatan hukum mengalihkan hak kepemilikannya dalam bentuk apapun. Jika ketentuan pasal di atas diabaikan, maka tindakan atau perbuatan hukum tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum yang tidak sah menurut hukum, yang artinya perbuatan hukum dimaksud dapat DIBATALKAN atau BATAL DEMI HUKUM.

Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa :

“Yang dimaksud dengan Harta Bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.”

Dalam Ayat (2) dikatakan, bahwa :

“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”

Dari ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa SEJAK DIMULAINYA TALI PERKAWINAN DAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG, SECARA HUKUM, BERLAKU PERCAMPURAN HARTA KEKAYAAN SUAMI DAN ISTRI, BAIK HARTA BERGERAK DAN TAK BERGERAK, BAIK YANG SEKARANG MAUPUN YANG KEMUDIAN ADA. ADAPUN KEDUDUKAN HARTA BAWAAN YANG MERUPAKAN PEROLEHAN DARI PEWARISAN ATAU HIBAH TETAP BERADA DIBAWAH PENGUASAAN MASING-MASING PIHAK, SEPANJANG SUAMI ISTRI TIDAK MENGATURNYA.

Pada Prinsipnya dalam suatu perkawinan, harta yang diperoleh melalui usaha dan jerih payahnya suami atau istri dimasukkan begitu saja dalam perkawinannya, terhadap harta bersama oleh suami atau istri yang harus mendapat persetujuan suami istri tersebut dimana tanpa adanya persetujuan dapat mengakibatkan batalnya perbuatan hukum suami atau istri terhadap harta bersama, sedikit banyaknya telah memperangkap dan mematikan hak-hak kenikmatan suami atau istri terhadap harta yang diperolehnya.


Bahwa Jika dikaitkan dengan ketentuan hak milik sebagaimana diatur Pasal 570 KUHPerdata, jelas dan tegas ketentuan klausul dalam pasal 35 dan pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang harta bersama dan harta bawaan sangat bertentangan, karena Pasal 570 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya.”

Akan tetapi jika melihat kembali Prinsip hukum yang menyatakan bahwa “Lex Specialis Derogat Lex Generalis”, yang artinya bahwa Ketentuan yang Khusus mengalahkan ketentuan yang umum, maka Pasal 570 KUH Perdata tidak berlaku dalam UU Perkawinan.

Bahwa ketika sesuatu hal telah menyangkut permasalahan hukum, maka yang tersisa hanya Keadilan, terlepas berapa besar dan kecilnya keadilan tersebut.  (Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Indonesia)