Perkawinan Campuran di LN Wajib Dicatatkan

Pelaporan perkawinan adalah bersifat administratif. Namun jika tidak dicatatkan, perkawinan dianggap tidak pernah ada.

Bagi warga negara Indonesia, khususnya perempuan, yang berniat melakukan perkawinan campuran beda kewarganegaraan, banyak hal yang harus dipahami. Ketidaktahuan Warga Negara Indonesia (WNI) khususnya perempuan terhadap aturan perkawinan campuran berpotensi menimbulkan persoalan. Baik dalam masalah harta dan anak, maupun status perkawinan.

Salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh WNI yang menikah dengan WNA di luar negeri adalah melakukan pencatatan pernikahan di kantor catatan sipil. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua WNI atau seorang WNI dengan WNA adalah sah bilamana dilaksanakan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan (asas lex loci celebrationis). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri berlaku hukum negara tersebut.

Setelah pernikahan dilakukan, maka WNI diwajibkan untuk memberikan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun, setelah pernikahan dilangsungkan. Namun bila lewat waktu dari yang ditetapkan harus melalui Pengadilan Negeri sesuai  dengan domisili yang bersangkutan. Yang bersangkutan juga dikenakan sanksi denda berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) setempat jo. pasal 107 Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Th 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Pelaporan perkawinan bersifat administratif. Selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri, maka perkawinan tersebut adalah sah dengan segala akibat hukumnya. Namun, jika perkawinan tidak dilaporkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) di Indonesia maka perkawinan berdasarkan hukum Indonesia dianggap tidak ada.

Lebih jauh Retno mewanti-wanti, akan banyak persoalan yang timbul jika kondisi ini terjadi. Khususnya terkait dengan pembagian harta warisan jika terjadi perceraian dan status anak yang bersangkutan. Untuk status anak, karena perkawinan dianggap tidak pernah ada, maka anak akan berstatuskan anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan hukum hanya dengan ibunya.

Contoh : Seorang perempuan Indonesia menikah dengan pria asing berkewarganegaran Italia di Denmark. Karena ketidaktahuannya terhadap UU Kewarganegaraan, ia tidak meregister sertifikat perkawinan di Kedutaan Besar RI di Denmark.

Atas persoalan ini, tanpa adanya legalisir sertifikat dari KBRI di Denmark, perkawinan tersebut tidak akan bisa dicatatkan di Indonesia. Sebab, tidak ada akta otentik yang membuktikan bahwa perkawinan keduanya pernah terjadi. Akibatnya, dalam hukum Indonesia, perkawinan model ini tidak akan dianggap ada. Agar dapat dicatatkan di Indonesia, maka pihak yang bersangkutan harus meminta legalisir dari Kedubes Indonesia di Denmark. Pelegalisiran ini tidak harus dilakukan oleh yang bersangkutan, tetapi bisa diberikan melalui surat kuasa. Surat kuasa ini harus dibuat oleh notaris, yang dilegalisasi di Kementerian Hukum dan Ham dan Kementerian Luar Negri Indonesia. Jika tidak demikian, perkawinan tidak bisa dicatatkan.

Dengan tidak adanya pencatatan, perkawinan dianggap tidak ada. Cara mengatasinya, pasangan bisa meminta penetapan pengadilan.

Setelah UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan berlaku, istri tidak serta merta ikut kewarganegaran suami. Namun dalam jangka waktu tiga tahun, bisa memilih apakah tetap menjadi WNI atau mengikut suami. Untuk anak, negara memberikan perlindungan dengan mendapatkan kewarganegaran ganda, sampai usia 18 tahun, atau sudah menikah sebelum umur 18 tahun. Setelah itu, dia bisa memilih kewarganegarannya.

HOTLINE BANTUAN HUKUM PENGACARA
Konsultasi perceraian