Putusan Serta Merta (uitvoerbaar bij voorraad)
Proses berperkara di Pengadilan seringkal memakan waktu yang lama bahkan hingga bertahun-tahun dengan segala upaya hukum hingga putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pelaksanaan dari sebuah putusan Hakimbaru bisa dilaksanakan sampai seluruh putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun salah satu pihak (Tergugat), tidak mengajukan banding atau kasasi, karena pelaksanaan putusan pada dasarnya harus menunggu sampai dengan berakhirnya tenggang waktu (daluarsa) untuk melakukan upaya hukum, hingga akhirnya putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pasal 206 dan 207 RBg atau Pasal 195 dan 196 H.I.R, pemenuhan suatu putusan, baru dapat dilaksanakan baik secara sukarela maupun secara paksa melalui eksekusi, apabila putusan pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Sebagai bentuk pengecualian dari prinsip tersebut adalah dengan adanya putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), yaitu bahwa putusan serta merta dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun masih ada upaya hukum baik perlawanan, banding maupun kasasi. Putusan serta merta merupakan terobosan sebagai upaya perwujudan dari asas “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan” yang merupakan salah satu asas penting hukum acara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Permintaan putusan serta merta dalam suatu gugatan pada
dasarnya adalah hak penggugat. Artinya, setiap orang yang mengajukan gugatan di
pengadilan berhak untuk meminta kepada majelis hakim agar permintaan putusan
serta merta-nya (uitvoerbaar bij voorraad) dapat dikabulkan. Namun,
apakah permintaan tersebut akan dikabulkan atau tidak, tergantung pada hakim
yang memutus perkara tersebut nantinya.
Putusan serta diatur antara lain dalam Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) Rbg dan Pasal 332 Rv.
- Pengadilan Negeri boleh memerintahkan
supaya keputusan dijalankan dahulu, walaupun keputusan itu dibantah
atau diminta banding, jika ada surat yang sah, satu surat tulisan yang
menurut peraturan yang laku (berlaku) untuk itu berkekuatan bukti, atau
jika ada hukuman dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuatan
keputusan yang pasti, demikian juga jika tuntutan sementara dikabulkan,
tambahan pula dalam perselisihan hak.
- Akan tetapi hal menjalankan keputusan
dahulu tidak boleh diluluskan sampai kepada penyandraan.
Dalam perkembangannya, ada
beberapa
“….maka dengan ini
Mahkamah Agung sekali lagi menginstruksikan agar sedapat mungkin jangan
memberikan Putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu, atau apabila benar-benar
dipandang perlu memberikan Putusan serupa itu, pelaksanaannya harus mendapatkan
persetujuan lebih dahulu dari Mahkamah Agung.”
Kemudian pada tahun
1969 dikeluarkan kembali Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.5 tahun
1969, yang intinya menyerahkan kebijaksanaan permintaan pelaksanaan Putusan
serta merta yang sesuai SEMA No. 13/1964 harus mendapatkan persetujuan dari
Mahkamah Agung (MA) kepada Pengadilan Tinggi.
Dalam perkembangan
berikutnya, akhirnya Putusan serta merta kembali dapat dilaksanakan setelah
SEMA No.13 Tahun 1964 dan SEMA No.5 Tahun 1969 dicabut dengan SEMA No.3
Tahun 1971 yang menyebutkan :
“Surat-surat Edaran
tersebut (SEMA No.13 Tahun 1964 dan SEMA No.5 Tahun 1969), dikeluarkan berdasarkan kenyataan bahwa sementara
Hakim hakim pada Pengadilan Negeri tidak atau kurang memperhatikan
syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang- Undang mengenai lembaga “Uitvoerbaar
bij voorraad” seperti diuraikan dalam pasal 180 (1) HIR dan pasal191 (1) Rbg.
“Keadaan itu sudah barang
tentu tidak dapat dipertahankan terus menerus dan Mahkamah Agung memandang
sudah tiba saatnya untuk mengakhiri keadaan itu dengan mempercayakan penetrapan
Lembaga ”Uitvoerbaar bij voorraad” kepada Pengadilan Negeri sebagaimana
ditentukan oleh undang-undang.”
“Maka dengan ini,
Mahkamah Agung menyatakan Mencabut
Tetapi pada tahun 1975
kembali dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1975 tanggal
1 Desember 1975, yang pada prinsipnya menambah persyaratan dalam memberikan
putusan uitvoerbaar bij vooraad.
“Dimana dalam
perundang-undangan (Pasal 180 ayat 1) diberikan kewenangan diskretioner kepada
Hakim yang tidak imperatif sifatnya, maka dengan ini diminta kepada Saudara,
agar supaya Saudara tidak menjatuhkan keputusan walaupun syarat-syarat dalam
pasal 180 ayat (1) HIR/191 ayat (1) RBG telah dipenuhi.
“Hanya dalam hal-hal yang
tidak dapat dihindarkan, keputusan demikian yang sangat exceptionil silatnya
dapat dijatuhkan.”
Saat ini dasar hukum dalam melaksanakan putusan serta merta yang berlaku adalah:
1. SEMA No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar
Bij Vooraad) dan Provisional.
2. SEMA No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta
Merta (Uitvoerbaar Bij Vooraad) dan Provisional.
Berdasarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 2000, putusan serta merta dapat
dikeluarkan jika:
a. gugatan berdasarkan pada bukti
b. gugatan
tentang utang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
c. gugatan
tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang, dan lain-lain dimana hubungan sewa
menyewa sudah habis/lampau atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya
sebagai penyewa beritikad baik;
d. gugatan
mengenai pembagian harta perkawinan (gono gini) setelah putusan mengenai
gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;
e. dikabulkannya
gugatan provisionil dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta
memenuhi Pasal 332 Rv;
f. gugatan
berdasarkan Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracth van gewijsde) dan mempunyai
hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan; dan
g. pokok
sengketa mengenai bezitsrecht.
Dalam angka 6 dan 7 SEMA No.
3 Tahun 2000 tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
putusan serta merta, yaitu :
1. Apabila
Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua
Pengadilan Agama agar Putusan Serta Merta dan Putusan Provisionil dilaksanakan,
maka permohonan tersebut beserta berkas perkara selengkapnya dikirim ke
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama disertai pendapat dari Ketua
Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.
2. Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama
dengan nilai barang/objek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata di
kemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat
Pertama.
Kemudian terhadap point 2 tersebut
diatas, yaitu terkait pemberian jaminan dikeluarkan SEMA No. 4 Tahun 2001 yang
menyebutkan :
Setiap kali akan
melaksanakan putusan serta merta (Uitvoerbaar bij Voorraad), harus disertai
penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No. 3 tahun 2000 yang
menyatakan:
“Adanya pemberian
jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi sehingga
tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudikan hari
dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama”
Tanpa jaminan
tersebut, tidak boleh ada pelaksanaan putusan serta merta. Selanjutnya apabila
Majelis akan mengabulkan permohonan serta merta, harus memberitahukan kepada
Ketua Pengadilan.
Permasalahan timbul ketika
apabila putusan banding atau kasasi bertentangan dengan putusan serta merta di
tingkat pertama, hal ini mengharuskan
adanya pelaksanaan ekseskusi untuk mengembalikan atau memulihkan kembali
kepada kondisi semula sebelum diadakannya
pelaksanaan putusan (restitutio in integrum).
Bahwa adanya kewajiban
pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi, juga
bukan merupakan sebuah solusi yang tanpa masalah. Seringkali menjadi
pertanyaan, apakah nilai jaminan, benar-benar sama dengan nilai barang/objek
eksekusi? siapa yang berhak atau memiliki kapabilitas untuk menenetukan atau
menguji nilai barang jaminan? Belum lagi soal teknis, semisal permasalahan
penyimpanan dan pengamanan, baik sertipikat-sertipikat kepemilikan, maupun
fisik aset (yang menjadi jaminan) selama perkara belum memperoleh putusan yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Pada akhirnya putusan serta
merta harus ditempatkan sebagai langkah yang memang sangat urgent untuk
dilaksanakan sebagai sebuah solusi atas berlarut larutnya suatu proses perkara
perdata, dalam mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, kiranya hanya
dilaksanakan untuk kondisi tertentu yang sangat urgent dan
telah memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam SEMA No. 3 Tahun 2000
dan SEMA No. 4 Tahun 2001, guna mewujudkan prinsip “peradilan dilaksanakan
secara sederhana, cepat, dan biaya ringan sehingga pelaksanaan dan penegakan
hukum dapat tercapai dengan baik dan dapat diterima seluruh lapisan masyarakat.