-->

Merevisi Putusan Pengadilan


 
Putusan pengadilan adalah salah satu produk hukum yang mengikat dan berlaku secara paksa bagi para pihak yang berperkara, setelah dinyatakan berkekuatan hukum tetap (Inkracht van Gewijsde). Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan : bahwa yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus hanyalah Mahkamah Agung, dengan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali. Yaitu dalam hal putusan yang dihasilkan didasarkan pada hal-hal sebagai berikut :    
  • Putusan didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
  • Putusan didasarkan pada bukti-bukti palsu 
  • Terdapat surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang tidak ditemukan saat persidangan
  • Putusan mengabulkan hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut 
  • Terdapat putusan yang bertentangan mengenai dasar atau soal yang sama 

Tetapi dalam beberapa kasus ada putusan yang tidak dapat dilaksanakan (dieksekusi) sehingga harus direvisi yang disebabkan karena sifat dari putusan tersebut, perubahan objek sengketanya, maupun karena kesalahan yang sifatnya formal. dalam kasus yang seperti ini, tidak dapat ditempuh upaya peninjuan kembali tetapi harus dengan gugatan baru. Demikian pula tidak ada ketentuan yang secara definitif mengaturnya secara khusus. 

Lebih lanjut M Yahya Harahap menyebutkan kondisi yang membuat putusan tersebut tidak dapat di eksekusi, antara lain:

  1. Harta kekayaan tereksekusi tidak ada; 
  2. Putusan bersifat declaratoir; 
  3. Barang objek eksekusi di tangan pihak ketiga; 
  4. Barang yang hendak dieksekusi dijaminkan kepada pihak ketiga;
  5. Tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya; 
  6. Perubahan status tanah menjadi milik negara; 
  7. Barang objek eksekusi berada di luar negeri; 
  8. Dua putusan yang saling berbeda; 
  9. Eksekusi terhadap harta kekayaan bersama. 

Dalam buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2008, terdapat 5 (lima) hal yang menyebabkan putusan non-executable, yaitu ::

  1. Putusan yang bersifat deklaratoir (putusan yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja sehingga tidak perlu dieksekusi) dan konstitutif (putusan yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan);
  2. Barang yang akan diekskusi tidak berada di tangan Tergugat / Termohon Ekseskusi;
  3. Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan barang yang disebutkan di dalam amar putusan;
  4. Amar putusan tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan;
  5. Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat menyatakan suatu putusan non-executable, sebelum seluruh proses/acara eksekusi dilaksanakan,kecuali yang tersebut pada butir 1.

Bahwa terhadap perumusan amar putusan, dalam hukum acara peradilan disebutkan bahwa amar putusan haruslah bersifat jelas, tegas, tuntas, dan tidak multi tafsir. Yahya Harahap, SH dalam bukunya hukum acara perdata edisi 2007 halaman 815, menyebutkan bahwa apabila gugatan dikabulkan maka amar putusan harus dirinci dan dideskripsi satu persatu, dan tidak boleh bersifat umum, dan menurut Drs. H. Abdul Manan, SH, S.IP., M.Hum dalam bukunya Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama edisi 2000 hal. 176 disebutkan Para hakim dalam menyusun amar putusan haruslah bersifat tegas dan lugas, terperinci dan jelas maksudnya (tidak samar-samar), 
Akan tetapi meskipun demikian fakta dilapangan sering ditemui putusan yang tidak memenuhi rumusan sebagaimana tersebut diatas dan mengakibatkan tidak sempurnanya amar putusan. Bahwa upaya yang bisa dilakukan terhadap putusan yang demikian itu adalah dengan mengajukan gugatan baru. Tidak ada ketetentuan yang secara pasti mengaturnya, tapi Yahya harahap menyebutkan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang menambahkan amar terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kecuali penambahan amar comdemnatoir atas putusan yang bersifat deklaratoir (Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalah Eksesusi Bidang Perdata, Edisi Kedua, Halaman 339). demikan  pula berdasarkan Fatwa  Mahkamah Agung RI No. 41/TU.AG/AI/V/1992 terhadap kesalahan atas putusan yang mengakibatkan sebuah putusan tidak dapat dieksekusi karena kesalahan perumusan amar oleh Majelis Hakim dapat ditempuh upaya perbaikan amar putusan.

Gugatan dapat dilakukan sebelum dilakukannya ekseskusi maupun ketika eksekusi telah berjalan yaitu setelah adanya penetapan pengadilan yang menetapkan banwa putusan tidak dapat dilaksankan (non excutable).

Walaupun secara kelaziman gugatan perbaikan bisa dikatakan tidak lazim akan tetapi secara praktis hal tersebut tetap ditempuh guna menghindari tidak dapat terlaksananya sebuah putusan. 

Demikian semoga bermanfaat 

LihatTutupKomentar
Truck car accident lawyers