-->

Putusan Non Excutable (Putusan yang tidak dapat diekseskusi) dalam Praktek

putusan yang tidak dapat dieksekusi

Putusan 
non excutabel adalah putusan yang tidak dapat dieksekusi / tidak dapat dilaksanakan secara sempurna. Eksekusi /pelaksanaan putusan pada asasnya adalah melaksanakan isi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang disebabkan karena salah satu pihak tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela.

Beberapa kasus ekseskusi tidak dapat dilaksankan diakibatkan karena faktor-faktor yang sifatnya riil terjadi dan ditemukan dalam proses eksekusi seperti keadaan-keadaan riil yang terjadi sebelum/setelah proses pengajuan ekseskusi yang mengakibatkan tidak dapatnya barang dieksekusi. selain itu ada pula sebab lain tidak dapatnya sebuah putusan dieksekusi yang sifatnya formil seperti kesalahan redaksional terutama terkait identitas objek sengketa, dan juga kekeliruan amar putusan yang tidak mengandung unsur penghukuman (putusan tidak bersifat condemnatoir) hal mana secara asasnya tentu tidak bisa dilaksanakan karena tidak adanya unsur perintah. 

Secara praktis upaya hukum yang bisa dilakukan adalah dengan mengajukan gugatan baru yang bisa diajukan sebelum diajukannya ekseskusi maupun ketika ekseskusi sudah berjalan yaitu setelah keluarnya penetapan ketua pengadilan tentang putusan yang tidak bisa dilaksanakan tersebut (putusan bersifat non excutable). 

Kadangkala tidak jelasnya amar putusan terjadi karena kelalaian hakim dalam pengetikan tetapi dapat  pula terjadi karena faktor proses pemeriksaan perkara yang tidak sempurna, misal dikabulkannya gugatan yang tidak jelas (obscur libel), dikabulkannya gugatan meskipun alat bukti kurang, dan lain sebagainya. Akan tetapi apapun itu dalam praktek seringkali hal-hal tersebut dapat begitu saja ditolerir dalam pemeriksaan gugatan perkara yang baru. Landasan pemeriksaan hanya didasarkan pada ada tidaknya relevansi gugatan dengan putusan terdahulu dimana karena tidak adanya aturan yang secara limitatif mengaturnya maka penilaian sepenuhnya diserahkan pada Majelis Hakim yang memeriksa.  sumber hukum yang sering dipakai yaitu dengan mendasarkan pada yurisprudensi dan fatwa Mahkamah Agung. Dan bisa dikatakan seringkali hal tersebut dianggap seolah-olah hanya hal yang sifatnya formalitas belaka, bersifat pelengkap, penyempurnaan dari putusan yang sebelumnya.

Hal-hal praktis yang mungkin bisa dicermati dan diperhatikan adalah bahwa kita harus jeli dengan setiap hal dalam perkara kita sehingga sebisa mungkin tidak memberikan peluang tidak terakomodirnya hal-hal yang sifatnya formalistis dalam putusan, seperti identitas objek sengketa, perintah pengosongan, penyerahan, ataupun permintaan untuk putusan dapat dilaksakanan terebih dahulu. 

Jika terpaksa kita harus mengajukan gugatan baru maka yang harus diingat bahwa kita harus memohon dapat dieksekusinya putusan terdahulu tersebut dengan perbaikan yang harus kita sebutkan, serta tidak lupa kita sertakan klausul putusan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum. 

Sepanjang terkait dan memiliki relevansi dengan pelaksanan putusan, maka hal-hal yang semula tidak termuat dalam putusan pun dapat kita masukkan dalam gugatan baru, karena tidak ada aturan yang secara khusus mengaturnya, hakim diberi kebebasan untuk menilai relevansi materi gugatan dengan pelaksanaan putusan terdahulu, jika memang ada relevansinya maka beralasan untuk dikabulkan.

Demikian sedikit pengalaman praktis yang mungkin bermanfaat.



LihatTutupKomentar
Truck car accident lawyers