Sita Marital atas Barang Jaminan Hutang
Sita jaminan adalah salah satu bentuk penjaminan atas objek sengketa dari upaya pemindahtanganan atau pengalihan kepada pihak ketiga secara tidak bertanggung jawab selama dalam masa sengketa. Permohonan atas sita jaminan ini dilakukan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan/dieksekusi kalau pengadilan mengabulkan tuntutan tersebut. Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita ,
namun hanya disimpan (conserveer) oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. Dengan adanya penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut adalah tidak sah dan merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan pidana pasal 231 dan 232 KUHP.
Sita dalam perkara perceraian dikategorikan ke dalam sita terhadap barang milik sendiri yang merupakan harta bersama dalam perkawinan untuk menjamin keutuhan, serta untuk mengamankan dan memelihara keutuhan seluruh harta bersama atas tindakan yang mungkin akan dilakukan tergugat/termohon sampai dengan putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap, baik yang berada di tangan Penggugat/Pemohon atau di tangan Tergugat/Termohon.
Pengaturan sita marital sendiri dapat dilihat dalam pasal 215 KUHPerdata, Pasal 190 BW, Uundang-undang no.1/1974 jo PP No 9 Tahun 1975 pasal 24 (2) huruf c ,Pasal 78 huruf c UU No 7 Tahun 1989, Pasal 136 ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Islam, Pasal 823 – 830 Rv.
Pemohon sita marital menurut Pasal 24 PP No9/1975 adalah suami atau juga istri yaitu selaku tergugat/termohon dengan cara mengajukan gugatan rekonvensi.
sita jaminan hanya dapat dianggap sebagai PMH jika sita tersebut meliputi benda yang secara tegas dikecualikan dari sita – misalnya Pasal 197(8) HIR (lihat Putusan MA No 206 K/Sip/1955, 19 Januari 1957); dan (ii) PMH tidak otomatis terjadi jika pengadilan kemudian mengangkat sita tersebut (Putusan MA No. 124 K/Sip/1975, dated 15 Mei1975).
Permohonan sita seringkali juga terjadi atas barang-barang yang sebelumnya telah diletakkan sita, misalnya telah menjadi agunan atas hutang termohon sita di suatu bank. Sita yang demikian dalam istilah hutang piutang bank termasuk dalam preferensi yang harus didahulukan daripada piutang yang kemudian, karena adanya jaminan yang sifatnya istimewa (preferen) tersebut. Demikian juga lah dalam peletakkan sita atas barang yang telah sebelumnya diletakkan sita oleh pihak ketiga. Dalam hal ini dapatlah dilakukan apa yang disebut sita persamaan. Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, menjelaskan secara rinci mengenai sita persamaan ini.
1. Sita Persamaan atau Vergelijkend Beslag, diatur dalam Pasal 463 Rv sebagai berikut:
“Apabila juru sita akan melakukan penyitaan dan menemukan barang-barang yang akan disita sebelumnya telah disita, maka juru sita tidak dapat melakukan penyitaan lagi. Namun juru sita mempunyai wewenangan untuk mempersamakan barang-barang yang disita dengan Berita Acara Penyitaan yang harus diperlihatkan oleh tersita kepadanya. Juru sita kemudian dapat menyita barang-barang yang tidak disebut dalam Berita Acara itu dan segera kepada penyita pertama untuk menjual barang-barang tersebut secara bersamaan dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 466 Rv. Berita Acara sita persamaan ini berlaku sebagai .sarana pencegahan hasil lelang kepada penyita pertama”.
“Apabila juru sita akan melakukan penyitaan dan menemukan barang-barang yang akan disita sebelumnya telah disita, maka juru sita tidak dapat melakukan penyitaan lagi. Namun juru sita mempunyai wewenangan untuk mempersamakan barang-barang yang disita dengan Berita Acara Penyitaan yang harus diperlihatkan oleh tersita kepadanya. Juru sita kemudian dapat menyita barang-barang yang tidak disebut dalam Berita Acara itu dan segera kepada penyita pertama untuk menjual barang-barang tersebut secara bersamaan dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 466 Rv. Berita Acara sita persamaan ini berlaku sebagai .sarana pencegahan hasil lelang kepada penyita pertama”.
2. Sita persamaan tidak diatur dalam HIR maupun R.Bg, tetapi diatur dalam Pasal 463 Rv yang mengatur tentang eksekusi barang bergerak. namun demikian telah berkemabnag dalam praktek bahwa sita persamaan itu dapat saja dilakukan terhadap barang tidak bergerak, yang tata caranya mengikuti ketentuan dalam Pasal 463 Rv.
3. Ketentuan yang hampir serupa terdapat dalam Pasal 11 ayat (12) Undang undang PUPN, Undang-undang No. 49 Tahun 1960, sebagai berikut:
“Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang lain yang berpiutang tidak dapat dilakukan penyitaan. Jika jurusita mendapatkan barang yang demikian, ia dapat memberikan salinan putusan Surat paksa sebelum tanggal penjualan tersebut kepada
Hakim Pengadilan Agamayang selanjutnya menentukan bahwa penyitaan yang dilakukan atas barang itu akan juga dipergunakan sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut Surat paksa”.
“Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang lain yang berpiutang tidak dapat dilakukan penyitaan. Jika jurusita mendapatkan barang yang demikian, ia dapat memberikan salinan putusan Surat paksa sebelum tanggal penjualan tersebut kepada
Hakim Pengadilan Agamayang selanjutnya menentukan bahwa penyitaan yang dilakukan atas barang itu akan juga dipergunakan sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut Surat paksa”.
4. Apabila setelah dilakukan penyitaan, tetapi sebelum dilakukan penjualan barang yang disita diajukan permintaan untuk melaksanakan suatu putusan Hakim yang ditujukan terhadap penanggung hutang kepada Negara, maka penyitaan yang telah dilakukan itu dipergunakan juga sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menuntut putusan Hakim itu dan Hakim Pengadilan Agama jika perlu memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang yang belum disita terlebih dahulu, sehingga akan dapat mencukupi untuk membayar jumlah uang menurut putusan-putusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu.
5. Dalam hal yang dimaksud dalam syarat-syarat 1 dan 2, Hakim Pengadilan Agama menentukan cara pembagian hasil penjualan antara pelaksana dan orang yang berpiutang, setelah mengadakan pemeriksaan atau melakukan panggilan
selayaknya terhadap penanggung hutang kepada Negara, pelaksana dan orang yang berpiutang.
selayaknya terhadap penanggung hutang kepada Negara, pelaksana dan orang yang berpiutang.
6. Pelaksanaan dan orang yang berpiutang yang menghadap atas panggilan termaksud dalam ayat (3), dapat meminta banding pada Pengadilan Tinggi atas penentuan pembagian tersebut.
7. Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut mendapat kekuatan pasti, maka Hakim Pengadilan Agama mengirimkan suatu daftar pembagian kepadajuru lelang atau orang yang ditugaskan melakukan penjualan umum untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian uang penjualan.
8. Oleh karena Pasal tersebut berhubungan dengan penyitaan yang dilakukan oleh PUPN, maka sita tersebut adalah sita eksekusi dan bukan sita jaminan, dan objek yang disita bisa barang bergerak atau barang tidak bergerak.
9. Sita persamaan barang tidak bergerak harus dilaporkan kepada BadanPertanahan Nasional atau Kelurahan setempat.
10. Apabila sita jaminan (sita jaminan utama) telah menjadi sita eksekutorial dilelang atau sudah dieksekusi riil, maka sita persamaan dengan sendirinya menjadi hapus demi hukum.
11. Apabila sita jaminan (sita jaminan utama) dicabut atau dinyatakan tidak berkuatan hukum, maka sita persamaan sesuai dengan urutannya menjadi sita jaminan (sita jaminan utama).