KAWIN PAKSA
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan, dikatakan bahwa perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia.
Itu berarti pada dasarnya seseorang tidak dapat dipaksa dengan ancaman atau dengan hal apapun untuk menikahi orang lain. Perkawinan harus berdasarkan keinginan dan persetujuan dari masing-masing pihak.
Jika perkawinan tersebut dilangsungkan karena adanya ancaman, maka berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU Perkawinan, suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
Akan tetapi, perlu Anda ketahui bahwa jika ancaman telah berhenti dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur (Pasal 27 ayat [3] UU Perkawinan).
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, berdasarkan Pasal 23 UU Perkawinan, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Jadi, prosedur yang dapat Anda tempuh adalah pembatalan perkawinan, bukan perceraian. Permohonan pembatalan perkawinan ini diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri (Pasal 25 UU Perkawinan). Lebih lanjut mengenai prosedur pembatalan perkawinan, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Menikah Karena Paksaan Orang Tua dan Ingin Membatalkan Perkawinan Setelah 5 Hari Menikah.
Jika pembatalan perkawinan tersebut dikabulkan oleh Hakim, maka berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan, batalnya suatu perkawinan tersebut dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tersebut tidak berlaku surut terhadap (lihat Pasal 28 ayat [2] UU Perkawinan):
- Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
- Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
- Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Semoga bermanfaat.