Ketentuan Izin Cerai Tidak Berlaku bagi Pegawai BUMN
Ketentuan izin perceraian kepada atasannya hanya berlaku bagi PNS, bukan pegawai BUMN
Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), akhirnya mengabulkan sebagian gugatan Rendy Sasmita Adji Wibowo, seorang pilot Garuda, yang di-PHK secara sepihak. Majelis yang diketuai Makmun Masduki beranggotakan Tri Endro Budianto dan Anton Sumartono menyatakan bahwa ketentuan yang menyangkut izin perceraian kepada atasannya hanya berlaku bagi pegawai negeri sipil (PNS), bukan pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Seperti diberitakan sebelumnya, manajemen Garuda Indonesia telah memutus hubungan kerja Rendy secara sepihak sejak November 2005 silam. Pasalnya, Rendy tak pernah mengajukan izin cerai kepada manajemen Garuda. Tindakan tersebut dinilai melanggar Pasal 50 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT Garuda Indonesia yang menyebutkan ketentuan melakukan perkawinan dan perceraian tunduk kepada peraturan yang berlaku, yakni merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS. Karenanya, Rendy dianggap melakukan pelanggaran berat.
Dalam pertimbangannya, majelis mengutip Pasal 95 PP No. 45 Tahun 2002 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN yang menyebutkan pengangkatan, pemberhentian, hak dan kewajiban bagi pegawai BUMN ditetapkan berdasarkan PKB dan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Selain itu, bagi BUMN tak berlaku ketentuan kepegawaian yang diterapkan untuk PNS.
Atas dasar itu, menurut majelis, ketentuan Pasal 50 PKB Garuda Indonesia bertentangan dengan PP No. 45 Tahun 2005, sehingga segala ketentuan perkawinan dan perceraian yang mengacu ke PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, tak berlaku bagi pegawai BUMN. Terbukti, karena PT Garuda Indonesia yang berstatus BUMN, maka pegawai BUMN tidak tunduk pada PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990. Ketentuan tersebut hanya berlaku bagi PNS, bukan bagi pegawai BUMN, tegas hakim.
Selain itu, lanjut hakim, ketentuan PHK terhadap pegawai BUMN harus tunduk pada UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Padahal UU Ketenagakerjaan, lanjut hakim, menyebutkan pengusaha dilarang mem-PHK dengan alasan buruh/pekerja menikah atau adanya perbedaan status perkawinan. Karenanya alasan PHK yang dilakukan tergugat (perusahaan, red) tak sah dan tak berdasarkan hukum, simpul hakim.
Namun majelis menilai bahwa hubungan kerja antara tergugat dan penggugat sudah tak harmonis lagi selama dua tahun terakhir. Jika hubungan kerja tersebut dilanjutkan, dipastikan akan terus terjadi perseteruan yang berdampak negatif terhadap perkembangan perusahaan. Hubungan kerja diantara para penggugat dan tergugat harus diputus berdasarkan putusan ini. Karenanya, penggugat berhak atas pesangon dan hak-hak lainnya sesuai ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan, jelasnya.
Di bagian akhir pertimbangannya, hakim menyebutkan jumlah total pesangon dan hak-hak lainnya yang berhak diterima oleh penggugat yakni sebesar Rp1,223 miliar yang wajib dibayar oleh manajemen Garuda. Dengan demikian majelis hakim berkesimpulan gugatan penggugat dapat dikabulkan untuk sebagian, urai hakim dalam amar putusannya.
dikutip dari : hukumonline com