Putusan Sela adalah putusan
yang diadakan sebelum hakim memutus perkaranya, yaitu yang memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Jadi, putusan sela ini diambil oleh
hakim sebelum ia menjatuhkan putusan akhir. Berdasarkan Pasal 185 HIR/196 RBg,
putusan sela adalah putusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun harus
diucapkan dalam persidangan, tidak dibuat secara terpisah melainkan hanya
tertulis dalam berita acara persidangan saja dan kedua belah pihak dapat
meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan ongkos
sendiri. Dari ketentuan Pasal 185 HIR/196 RBg tersebut, dapat diketahui bahwa:
a. Semua putusan sela diucapkan dalam sidang;
b. Semua putusan sela merupakan bagian dari berita acara;
c. Salinan otentik dapat diberikan dari berita acara yang memuat putusan sela kepada kedua belah pihak.
Berdasarkan teori dan praktiknya, putusan sela dapat
dibedakan ke dalam empat golongan, di antaranya:
1. Putusan
Preparatoir;
Putusan preparatoir (preparatoir vonnis) merupakan
salah satu bentuk spesifikasi yang terkandung dalam putusan sela. Tujuan
putusan ini merupakan persiapan jalannya pemeriksaan. Misalnya sebelum hakim
memulai pemeriksaan, lebih dahulu menerbitkan putusan perparatoir tentang
tahap-tahap proses atau jadwal persidangan. Umpamanya pembatasan tahap
jawab-menjawab atau replik-duplik dan tahap pembuktian. Dalam praktik, hal ini
jarang terjadi. Proses pemeriksaan berjalan dan langsung sesuai dengan
kebijakan dengan memperhitungkan tenggang pemunduran persidangan oleh hakim
tanpa lebih dahulu ditentukan tahap-tahapnya dalam suatu putusan sela yang
disebut putusan preparatoir.
Selanjutnya, sesuai dengan tuntutan peradilan modern,
sangat beralasan mengembangkan putusan preparatoir, dengan jalan menggabungkan
prinsip manajemen dalam sistem peradilan, seperti yang pernah disinggung di
beberapa negara, misalnya di Inggris, telah dimunculkan konsep timetable
program. Sebelum proses persidangan dimulai, hakim terlebih dahulu
menetapkan timetable itu, hakim dan para pihak terkait
melaksanakannya. Tidak seperti yang berlaku sekarang, jadwal pemeriksaan tidak
pasti, tergantung pada selera hakim. Terkadang meskipun hakim sendiri yang
menetapkan pemunduran sidang, tanpa alasan yang masuk akal, pemeriksaan tidak
dilangsungkan dan dimundurkan lagi pada hari yang lain.
2. Putusan Interlocutoir;
Menurut R. Soepomo dalam bukunya Hukum Acara Perdata
Pengadilan Negeri, seringkali Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan interlocutoir saat
proses pemeriksaan tengah berlangsung. Putusan ini merupakan bentuk khusus
putusan sela (een interlocutoir vonnis is een special sort tussen vonnis) yang
dapat berisi bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai
hakim, antara lain sebagai berikut:
a. Putusan interlocutoir yang
memerintahkan pendengaran keterangan ahli. Berdasarkan Pasal 154 HIR, apabila
hakim secara ex officio maupun atas perintah salah satu pihak,
menganggap perlu mendengar pendapat ahli yang kompeten menjelaskan hal yang
belum jelas tentang masalah yang disengketakan, hal itu dituangkan dalam
putusan sela yang disebut putusan interlocutoir;
b. Memerintahkan pemeriksaan setempat (greechtelijke
plaatssopmening). Berdasarkan Pasal 153 HIR, jika hakim berpendapat atau
atas permintaan salah satu pihak, perlu dilakukan pemeriksaan setempat maka
pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlocutoir yang
berisi perintah kepada hakim komisaris dan panitera untuk melaksanakannya;
c. Memerintahkan pengucapan atau pengangkatan
sumpah baik sumpah penentu atau tambahkan. Berdasarkan Pasal 155 HIR dan Pasal
1929 KUHPerdata, maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlocutoir;
d. Bisa juga memerintahkan pemanggilan saksi
sebagaimana termuat pada Pasal 139 HIR, yakni saksi yang diperlukan penggugat
atau tergugat tetapi tidak dapat menghadirkannya, maka berdasarkan Pasal 121
HIR, pihak yang berkepentingan dapat meminta kepada hakim supaya saksi tersebut
dipanggil secara resmi oleh juru sita. Apabila permintaan ini dikabulkan, hakim
menerbitkan
e. Putusan interlocutoir dapat juga
diterbitkan hakim untuk memerintahkan pemeriksaan pembukuan perusahaan yang
terlibat dalam suatu sengketa oleh akuntan publik yang independen.
3. Putusan
Insidentil; dan
Putusan
insidentil (incidenteel vonnis) merupakan putusan sela yang
berkaitan langsung dengan gugatan insidentil atau yang berkaitan dengan
penyitaan yang dibebankan pemberian uang jaminan dari pemohon sita agar sita
dilaksanakan yang disebut cautio judicatum solvi.
Umumnya
dikenal dua bentuk putusan insidentil, antara lain:
a. Putusan insidentil dalam gugatan
intervensi.
Dalam Pasal 279 Rv
mengatur lembaga gugatan intervensi, yaitu:
1) Memberi hak kepada pihak ketiga yang
berkepentingaan untuk menggabungkan diri dalam suatu perkara yang masih
berlangsung proses pemeriksaannya pada pengadilan tingkat pertama.
2) Bentuk gugatan intervensi yang dapat diajukan
pihak ketiga yang berkepentingan dapat berupa: voeging,
tussenkomst, dan verjaring.
3) Cara ikut sertanya bergabung melalui gugatan
intervensi diatur dalam Pasal 280 Rv.
b. Putusan insidentil dalam pemberian
jaminan atas pelaksanaan sita jaminan.
Putusan
insidentil yang dikaitkan dengan pelaksanaan sita jaminan (conservatoir beslaag)
disebut cautio judicatum solvi. Sebagai contoh, Pasal 722 Rv
yakni penyitaan atas barang debitur. Menurut pasal ini, hakim dalam mengabulkan
permohonan sita jaminan yang diajukan penggugat dapat memerintahkan kepada
tergugat agar membayar uang jaminan meliputi kerugian dan bunga yang mungkin
timbul akibat penyitaan, dengan ketentuan dan ancaman selama uang jaminan belum
dibayar penggugat, penyitaan tidak dilaksanakan. Jika hakim bermaksud
menerapkan ketentuan Pasal 722 Rv tersebut, harus dituangkan dalam bentuk
putusan insidentil.
Begitu
juga apabila hakim hendak menerapkan ketentuan Pasal 763 Rv tentang
pengangkatan sita yang diletakkan atas pesawat terbang, harus dituangkan dalam
putusan insidentil. Menurut pasal ini hakim dapat mengangkat sita atas pesawat
terbang dengan syarat pihak tersita memberi sejumlah uang jaminan yang cukup
menutup jumlah gugatan dan bunga yang harus dibayarkan kepada kreditur
(penggugat). Apabila syarat ini terpenuhi, hakim dapat segera mengeluarkan
perintah pengangkatan sita, yang dituangkan dalam putusan insidentil.
4. Putusan
Provisi
Diatur dalam Pasal
180 HIR dan Pasal 191 RBg disebut juga provisionele beschikking,
yakni putusan yang bersifat sementara atau interim award (temporary
disposal) yang berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir
mengenai pokok perkara dijatuhkan. Dengan demikian putusan provisi ini tidak
boleh mengenai materi pokok perkara, tetapi hanya terbatas mengenai tindakan
sementara berupa larangan melanjutkan suatu kegiatan, misalnya melarang
meneruskan pembangunan di atas tanah berperkara dengan ancaman hukuman membayar
uang paksa. Penegasan itu dikemukakan dalam Putusan MA No. 1788 K/Sip/1976,
begitu juga penegasan putusan MA No. 279 K/Sip.1976. Gugatan provisi seharusnya
bertujuan agar ada tindakan sementara dari hakim mengenai hal yang tidak
termasuk pokok perkara. Gugatan atau permohonan provisi yang berisi pokok
perkara harus ditolak. Putusan provisi diambil dan dijatuhkan berdasarkan
gugatan provisi (provisionele eis) atau disebut juga provisionele
vordering bisa diajukan berdiri sendiri dalam gugatan tersendiri,
berbarengan dengan gugatan pokok, namun bisanya diajukan bersama-sama dengan
satu kesatuan dengan gugatan pokok. Tanpa gugatan pokok, gugatan provisi tidak
mungkin diajukan, karena gugatan tersebut asesor dengan gugatan pokok.