Langsung ke konten utama

Postingan

Status kewarganegaraan anak yang lahir di Indonesia dan dari perkawinan campuran

Pasal  41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia : ” Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum undang-undang iini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan undang-undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah undang-undang ini diundangkan.”   Bahwa terhadap anak-anak yang berada di luar cakupan Pasal 41 tersebut yaitu anak-anak hasil perkawinan campuran dan anak-anak yang lahir di negara Ius Soli (berdasar tempat kelahiran), yang tidak mendaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda atau anak-anak yang sudah mendaftar tetapi tidak atau terlambat memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia hingga batas waktu yang ditentukan Undang-Undang b

PENGADILAN AGAMA MAGELANG

Pengadilan Agama Magelang sebelum tahun 1977 bertempat di Masjid Agung Magelang, kemudian setelah tahun 1977 pindah dan berkantor di wilayah Kecamatan Tegalrejo dengan fasilitas sarana dan prasarana dari Departemen Agama Republik Indonesia, hal ini berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) UU No.7 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman Jo Pasal 5 Ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dimana wilayah hukum Pengadilan AgamaMagelang pada saat itu sangat luas karena wilayah tersebut mengikuti wilayah kekuasan pemerintahan Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. Namun karena adanya perubahan dan perkembangan pemecahan pemekaran wilayah kekuasaan pemerintahan menjadi dua bagian yaitu pemerintahan kota dan pemerintahan kabupaten, maka saat itu Pengadilan Agama harus menyesuaikan diri dengan memisahkan antara kabupaten dengan kota yang akhirnya pada tahun 1987 terbentuklah Pengadilan Agama Mungkid yang mempunyai wilayah hukum sebagaimana wilayah pemerintah kabupaten dan

PERCERAIAN BISA TERJADI MEKIPUN SALAH SATU PIHAK BERSIKERAS TIDAK MAU BERCERAI

Perceraian tetap bisa terjadi walau salah satu pihak bersikukuh tidak mau dicerai Perceraian tidak didasarkan kepada kesepakatan antara suami  istri. Salah satu pihak dapat mengajukan gugatan/permohon perceraian ke pengadilan meskipun pihak lainnya tidak mau dan bahkan bersikeras untuk tidak bercerai. Pengadilan wajib memutus perkara perceraian sepanjang syarat dan alasan-alasan tersebut diuraikan dan dibuktikan dipersidangan meskipun salah satu pihak tidak mau bercerai.

Hak Asuh Anak setelah Perceraian

Prosedur Hak Asuh Anak Pasca Cerai Dalam pasal 41  Undang-Undang perkawinan tahun 1974 menyebutkan bahwa salah satu akibat dari putusnya perkawinan adalah : (1) ibu atau ayah tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang akan memberikan keputusan kepada siapa hak asuh anak tersebut kemudian akan diberikan; (2) ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; (3) pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri . Dalam Undang-Undang perkawinan tidak terdapat pasal yang menjelaskan hak asuh anak pasca cerai jatuh pada ayah atau ibu, akan tetapi terkait dengan hal ini Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 pasal 105 m

HADIAH RUMAH DARI SUAMI KEPADA ISTRI

Ketentuan mengenai harta bersama atau harta kekayaan dalam perkawinan (Syirkah) di dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”). Di dalam Pasal 35 ayat (1) UUP disebutkan bahwa: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Kemudian, di dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) harta bersama diatur sebagai berikut : Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun; Namun demikian, dalam Pasal 35 ayat (2) UUP dinyatakan, “harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”

IZIN CERAI

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka perceraian sejauh mungkin dihindarkan dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang sangat terpaksa. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negeri Sipil dan pejabat yang tidak menaati atau melanggar ketentuan mengenai izin perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dijatuhi hukuman disiplin. Untuk kepentingan penyelenggaraan sistem informasi kepegawaian, setiap perkawinan, perceraian, dan pe

CERAI KARENA SMS MESRA

Bla salah satu pihak dalam suatu pasangan menduga bahwa pasangannya melakukan perselingkuhan dengan orang lain melalui bukti SMS mesra di antara mereka. Mengenai hal ini, perselingkuhan salah satu pasangan dapat menjadi batu ujian dalam sebuah perkawinan. Perselingkuhan juga dapat menjadi pemicu retaknya rumah tangga karena dapat membuat antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Mengenai SMS mesra antara suami/istri dengan orang lain dapat disampaikan untuk mendukung/memperkuat gugatan cerainya. Selain itu juga perlu disampaikan bukti-bukti lain kepada pengadilan bahwa antara suami dan istri sering terjadi perselisihan dan pertengkaran sedemikian rupa sehingga tidak ada tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka hal merupakan alasan yang dijadikan dasar untuk perceraian. Sebagai contoh, kita dapat melihat Putusan Mahkamah Agung Nomor: 0044/Pdt.G/2013/PA.Plg mengenai gugatan cerai yang diajukan oleh isteri (Penggugat) terha

GONO GINI SUAMI YANG TIDAK PERNAH BERI NAFKAH

Apakah adil bila harta bersama dibagi rata padahal selama menjalani pernikahan suami tak menafkahi keluarga Dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) menyatakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan, harta bawaan masing-masing suami isteri sebagai hadiah atau warisan ada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak menentukan lain. Ketentuan yang lebih jelas dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pasal 1 huruf f KHI menyatakan harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.